Selasa, 28 Mei 2013

Teologi Islam Dalam Menghadapi Tantangan Kemiskinan di Indonesia

 Teologi Islam
Dalam Menghadapi Tantangan Kemiskinan di Indonesia[1]
Oleh : Abdullah Nasir*
* Mahasiswa Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadits IAIN Walisongo Semarang.
Abstrak
Masalah kemiskinan di Indonesia seakan-seakan menjadi virus tersendiri dalam kehidupan. Sedikit demi sedikit kemiskinan semakin meluas dan mengancam akan kelangsungan hidup masyarakat Indonesia yang bahagia. Hal yang seperti ini akan berbahaya jika tetap dibiarkan tanpa adanya tindakan yang tanggap, sigap,  sesuai dan mampu menjawab masalah tersebut. Perlu penorobasan baru untuk mengatasinya mengingat tindakan yang diambil oleh pemerintah Indonesia tidak mampu mengatasi masalah tersebut, bahkan menjadikan masalah itu sebagai identitas Indonesia. Islam datang dengan membawa nuansa damai dan memberikan beberapa penawaran metode dalam mengatasi maslah kemiskinan di Indonesia. Penawaran metode yang praktis tetapi mampu mengatasi masalah tersebut. Dalam Islam, terdapat pemahaman yang bersifat transformatif yang menginginkan transformasi terhadap struktur lewat penciptaan relasi secara fundamental yang baru dan lebih adil dalam bidang ekonomi, politik, dan kultur. Ini merupakan proses panjang untuk mewujudkan kehidupan ekonomi yang tidak eksploitatif, politik tanpa penindasan, kultur tanpa dominasi dan hegemoni serta penghormatan HAM.
A.     Latar Belakang
Problem kemiskinan yang terjadi di Indonesia dewasa ini kian merajalela. Lebih dari setengah dari penduduk Indonesia berada pada tingkat bawah garis merah (kemiskinan). Kemiskinan ini terjadi disebabkan oleh penduduk Indonesia itu sendiri dan menjadi sebuah virus tersendiri bagi Indonesia. Indonesia yang dikatakan mempunyai tanah yang subur, kaya akan sumber alamnya, namun, hal itu tampak menjadi bahan ucapan jika melihat keadaan yang sebenarnya. Keadaan inilah yang seharusnya menjadi topik utama dalam perhatian pemerintah bukan kondisi para artis papan atas Indonesia dan kondisi pengusaha sukses Indonesia. Hal inilah yang mengakibatkan secara berangsur kemiskinan yang terjadi di Indonesia sulit teratasi dan bisa dikatakan menjadi identitas tersendiri bagi Indonesia.
Setiap sesuatu pasti mempunyai dampak negatif dan positif. Seperti halnya dampak dari modernisasi dan globalisasi. Khusunya di Indonesia, kaum minoritas di sana dianggap sebagai “orang-orang yang tersisih” dari perubahan yang terjadi. Dan itu juga terjadi pada sebagian kaum mayoritas. Mereka yang lemah yakni rentan ekonomi dan politik, lemah harkat dari kemanusiaannya. Hal ini seperti adanya sistem “hukum rimba” - yang kuat yang menjadi berkuasa-. Proses globalisasi yang terjadi dewasa ini memiliki pengaruh besar bagi perkembangan nilai agama. Keadaan ini mendapatkan sorotan yang beragam dari kalangan pemikir dan aktivis agama. Agama sebagai pandangan yang terdiri doktrin dan nilai, memberikan pengaruh besar pada kehidpuan masyarakat. Hal ini dibenarkan oleh para pemikir, diantaranya, Robert N. Bellah dan Jose Casanova, mereka membenarkan pentingnya peranan agama dalam kehidupan sosial politik masyarakat dunia.
Agama mempunyai peranan yang penting dan menjadi sebuah bagian tersendiri dalam kehidupan masyarakat. Hal itu mencakup dalam kehidupan sosial, politik, dan pribadi masyarakat itu sendiri. Agama sebagai sebuah ikatan satu dengan yang lain yang harus dipegang dan dipatuhi, karena hal itu akan membawa kebahagian dan keharmonisan bagi kehidupan masyarakat. Agama mampu menjawab masalah yang sedang melanda masyarakat. Dari masalah keluarga, sosial, dan politik.
Bagaimana Islam berbicara tetang kemiskinan, khususnya di Indonesia?
Hal inilah yang menjadi sebab tersendiri bagi penulis untuk membahas lebih lanjut dan detail mengenai persoalan tersebut yang akan dibahas dalam makalah ini. Penulis ingin mengenalkan apa itu islam, dan bagaimana Islam mengatasi dan menjawab persoalan yang sedang dirasakan masyarakat Indonesia yaitu kemiskinan.
B.     Teologi Islam Menjawab Kemiskinan
Agama seringkali menjadi tumpuan umat islam dalam menghadapi problem kehidupan. Menjadi tempat keluh kesah, pelipur lara dan lain-lain. Seakan-akan agama hanya dianggap sebagai wadah saja, tanpa adanya pandangan lain yang menyebutkan agama membantu dalam mewujudkan keshalehan sosial dalam kehidupan ini. Pandangan seperti inilah yang menyebabkan kemunduran dalam umat itu sendiri. Kurang memahami apa itu agama, bagaimana penerapannya dalam kehidupan ini. Maka dari itu, perlu adanya penekenan dalam memberikan pengertian mendalam tentang agama dan penerapannya dalam kehidupan ini.
Agama merupakan  sebuah identitas masyarakat dalam bersosial. Seua hal ihwal mengenai etika masyarakat semua berdasarkan agama. Dalam negara Indonesia, terdapat 5 agama yang disahkan oleh pemerintah, yaitu, Islam, Kristen, Katolik, Budha, dan Hindhu. Dari semua itu, mempunyai jalan dan identitas yang yang berbeda, namun tetap dalam satu jalur tujuan, yaitu mewujudkan kebaikan, dari arah sosial, politik, ekonomi, dan pribadi (akhlak) diri sendiri. Dalam ranah sosial, agama menjadi alat yang canggih dan menjadi sebuah agen yang secara aktif melakukan perubahan terhadap tatanan sosial masyarakat yang telah usang.  Agama harus bisa menjadi senjata yang dapat mempertahankan hak khusus dan kekuasan “kasta yang tinggi”[2].
Mayoritas masyarakat Indonesia beridentitas Islam. Sehingga banyak nilai-nilai Islam yang tersebar dan menjadi prinsip kehidupan masuarakat. Islam dijadikan tameng untuk menjawab persoalan-persoalan yang ada. Islam yang masuk di Indonesia pada abad 6 H. mampu menyulap tatanan sosial msasyarakat. Dari etika berbicara, berhubungan dengan yang lain, sampai hal-hal yang bersifat rahasia. Namun beberapa ilmuwan hanya mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan metafisika yang abstrak, sehingga mereka berada pada lingkungan yang tidak menyentuh sedikitpun tentang masalah eksistensial kemanusiaan maupun kepastian nasib manusia. Bagi mereka agama hanya menjadi latihan intlektual murni, tidak menjadi sebuah kode etik dan aturan moral yang dinamis yang mampu menjadi sebuah prinsip hidup pemeluknya untuk mengarahkan kehidupan spiritualnya ke arah kehidupan yang lebih bermakana, tidak menjadi menjadi rangkaian ibadah yang kering dan doktrin yang abstrak dan metafisis yang sulit dipahami.[3]
Masalah sosial ini sangat mengganggu stabilitas kehidupan masyarakat, terutama masalaha kemiskinan. Masalah kemisikinan yang merajalela di Indonesia seakan-akan dibiarkan tanpa adanya penanganan yang serius. Ini dapat dibuktikan dengan naiknya angka kemiskinan di Indonesia ini. Tidak diketahui bagaimana mengatasi problem kemiskinan yang terjadi. Dari tatanan sosial yang sudah dibentuk oleh pemerintah, tidak mampu menjwab persoalan -kemiskinan- yang ada. Menurut hemat penulis, ini disebabkan karena tidak adanya penyatuan dan penerapan telogi Islam - agama yang menjadi mayoritas di Indonesia -. Dari pemerintah terlaru mengandakan naluri mereka untuk menjawab persoalan yang ada. Maka dari itu, sangatlah baik jika tatanan sosial dibentuk dengan metode yang Islam tawarkan. Metode yang praktis tetapi mampu membawa perubahan tatanan sosial ke arag yang lebih baik. Dalam Islam, terdapat sistem penghematan ekonomi dan pemenuhan kebutuhan  hidup. Umat islam diharuskan mampu mejadikan sistem tersebut sebagai jalan untuk mendapatkan kehidupan sosial dan ekonomi yang baik, sehingga rotasi kehidupan umat islam sendiri akan membaik dan akan mengakibatkan menurunnya nilai kemiskinan dalam umat islam.
Ketika berbicara tentang kemiskinan dan Islam, akan lebih menarik jika pembicaraan tesebut dilakukan dengan pendekatan yang dipakai al-Quran dalam membahas masalah tersebut. Seperti yang dikatakan oleh Asghar Ali Enginer dalam bukunya “islam dan teologi Pembebasna” :
“Agar diskusi mengenai islam dan tantang kemiskinan ini lebih menarik, maka perlu memahami pendekatan yang dipakai Al-Qur’an dalam membahas masalah-masalah tertentu yang berkaitan dengan tema tersebut. Nabi-nabi yang disebutkan di dalam Al-Qur’an, sebagaimana sebagaimana dikemukakan oleh seorang pemikir Islam Iran, Ali Shari’ati, berasal dari kalangan masyarakat biasa, bukan bagian dari kelompok kemapanan atau pemimpin yang berkuasa (kecuali Nabi Daud dan Sulaiman). Kita Suci Al-Qur’an dengan jelas menyebutkan, “Dialah yang mengutus di antara orang yang buta huruf seorang rasul dari kalangan mereka sendiri” (62:2). Jelaslah, Al-Qur’an menyatakan bahwa Tuhan mengustus nabi-nabi-Nya kepada manusia itu sendiri. Nabi-nabi itu berdiri di tengah-tegah kalangan masyarakat dan tidak pernah mengidentifikasi diri dengan penguasa atau dengan kelas yang berkuasa (mala)”
Jelaslah dari metode yang berikan Islam –merujuk pada isi pendapat di atas- dapat membuat perubahan pada tatanan sosila, seperti pengutusan Nabi Muhammad yang mampu menyulap kehidupan masyarakat arab yang tidak bermoral menjadi masyarak yang bermoral dalam kancah Internasional. Hal itu juga dapat dijadikan kiasan bahwa ketertindasan dan kemiskinan bukanlah merupakan takdir  tapi merupakan “ihwal sebab-akibat”. Nabi-nabi yang awalnya merupakan orang-orang yang tertindas mampu menjadi orang yang kuat asal dia bekerja keras, berdo’a dan sungguh-sungguh. Ketertindasan dan kemiskinan yang berada pada masyarakat harus diyakini bahwa itu semua tidaklah abadi. Dan bukan merupakan takdir Tuhan bahwa kita akan tertindas secara terus menerus. Secara tidak langsung, Tuhan, melaui nabinya, menginginkan manusia menjadi makhluk yang aktif. Aktif dalam menjadikan jiwanya menjadi jiwa yang besar sehingga persoalaan yang akan menimpa dengan mudah mampu ditangani.
Tawaran metode yang diberikan Islam hanya menjadi bahan pemikiran belaka, tidak ada penanganan lebih lanjut mengenai hal itu. Ini disebabkan karena adanya modernisasi yang memberi dampak negatif pada etika dan pemikiran masyarakat, meskipun dia juga memberikan dampak yang positif juga terhadap kemajuan masyarakat Indonesia. Kemewahan dan kesenangan yang diberikan oleh modernisasi memunculkan perasaan jenuh dan malas dalam mempelajari Islam dan penerapanya dalam kehidupan ini. Islam sering dijadikan kambing hitam terhadap masalah-masalah yang ada. Keadaan inilah yang membuat pemeluk Islam Indonesia mayoritas berada dalam garis kemiskinan. Mereka tidak mampu melakukan dan menerapkan metode yang diberikan Islam. Mereka merasa Islam hanya sebatas agama dan tidak terdapat nilai yang mampu direalisasikan pada realitas kehidupan. 
Menurut pemahaman modernis - pemahaman yang bersifat rasional dan lawan dari pemahaman tradisionalis -  ini percaya bahwa masalah yang dihadapi kaum tertindas dan miskin, yang pada dasarnya masalah tersebut berakar pada persoalan “karena ada yang salah dari sikap mental, budaya, ataupun teologi mereka”[4]. Namun, pendapat ini jauh berbeda dengan pemahaman tradisionalis yang mengatakan bahwa kemiskinan dan ketertindasan adalah ketentuan dan rencana Tuhan[5]. Hal itu juga berbeda dengan apa yang dikemukakan dalam pemahaman revivalis. Mereka berpendapat bahwa terdapat faktor internal dan eksternal yang menjadi persoalan kemiskinan dan ketertindasan. Bagi mereka, masalah itu disebabkan karena semakin banyaknya kaum tertindas terutama umat Islam Indonesia yang justru memakai ajaran atau isme lain sebagai dasar pijakan dari pada menggunakan al-Quran sebagai acuan dasar dan prinsip pada kehidupan mereka. Pandangan ini berangkat dari keyakinan bahwa al-Quran pada hakikatnya telah menyediakan petunjuk secara komplit, jelas, dan sempurna sebagai fondasi dalam kehidupan masyarakat dan negara. Selain itu, mereka menganggap keberedaan isme lain membawa ancaman bagi umat Islam khususnya Indonesia[6]. Dari pemahaman-pemahaman tersebut, penulis merasa tidak ada yang sesuai jika kita melihat kondisi para pemeluk Islam Indonesia dewasa ini. Penulis lebih sepakat dengan pemahaman transformatif yang mengatakan bahwa ketertindasan dan kemiskinan disebabkan oleh adanya sistem dan struktur ekonomi, politik, dan kultur yang tidak adil dan hanya memberi keuntungan pada sebagian kecil manusia. Mereka menginginkan penerobosan baru dengan melakukan transformasi terhadap struktur lewat penciptaan relasi secara fundamental yang baru dan lebih adil dalam bidang ekonomi, politik, dan kultur. Ini merupakan proses panjang untuk mewujudkan kehidupan ekonomi yang tidak eksploitatif, politik tanpa penindasan, kultur tanpa dominasi dan hegemoni serta penghormatan HAM. Keadilan adalah prinsip fundamental dari pemahaman ini[7]. Pemahaman seperti ini sesuai dengan apa yang Islam inginkan.
Pemahaman transformatif  ini berada dan membela golongan masyarakat yang tertindas dan miskin. Dan juga dengan jelas dan tanpa ragu-ragu al-Quran berdiri dipihak golongan masyarakat lemah dalam menghadapi para penindas. Al-Quran menyesalkan, bahkan menegur orang-orang  tidak mau menolong mereka yang teraniaya.[8] Seakan-akan al-Quran membenci akan adanya kemiskinan dan ketertindasan, karena al-Quran menginginkan kesamaan dan kesetaraan dalam kehidupan.Begitu pula dengan Nabi Muhammad yang membenci kemiskinan dan kelaparan. Ada banyak hadis yang membuktikan kebenaran pernyataan tersebut. Hadis yang diriwayatkan oleh Nissi berbunyi, “Ya tuhan, aku berlindung kepada-Mu dari kemiskinan, kekurangan dan kehinaan, dan aku berlindung kepada-Mu dari keadaan teraniaya dan perilaku aniaya terhadap orang lain”.[9] Dalam hadits ini, hal yang patut dicermati adalah setelah mereka kaum lemah bebas dari ketertindasan, mereka tetap memifikirkan kaum yang tertindas yang lain. Dilihat dari mereka yang telah lepas dari ketertindasan tetap meminta perlindungan dari keadaan penganiayaan dan keadaan yang menyebabkan mereka sebagai seorang penindas. Dalam ibarat meminta perlindungan dari sifat “lupa daratan”.
C.     Kesimpulan
Dari beberapa pemhasan diatas, kita dapat menarik beberapa hal sebagai berikut;
1.      Pada dasarnya Al Qur’an memihak kepada orang yang lemah terutama ketika ia ditindas oleh orang-orang mustakbirin, para penguasa yang sombong.
2.      Sejarah kenabian dalam islam dapat dijadikan sebagai inspirasi dan pegangan bahwasanya ketertindasan itu memang harus dilawan.
3.      Perlunya penyuluhan teologi baru bagi fakir miskin yang tertindas. Teologi yang lama hanya telah menjadikan mereka tidak bertindak aktif dalam menghidari kemiskinan dan ketertindasan.
4.      Sebagai cendikiawan dan orang-prang islam yang faham realitas ini, maka perlunya memberikan pemahaman baru kepada mereka.

Daftar Pustaka
Engineer, Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000).
Tasmin, Teologi Kaum Tertindas, (Kediri: STAIN Kediri Press, 2009).




[1] Dikumpulkan guna memenuhi tugas Ujian Tengah Semester (UTS) mata kulilah Bahasa Indonesia, pada tanggal, 04 Desember 2012
[2] Asghar Ali Engineer, Islam Dan Teologi Pembebasan, (Pustaka Pelajar:Yogyakarta, 2000), h. 89.
[3] Ibid., h.88.
[4] Tasmin, Teologi Kaum Tertindas, (STAIN Kediri Press:Kediri, 2009), h. 115.
[5] Ibid., h.114.
[6] Ibid., h.117.
[7] Ibid., h.119.
[8] Asghar Ali Engineer, Islam Dan Teologi Pembebasan, (Pustaka Pelajar:Yogyakarta, 2000), h. 92.
[9] Ibid., h.99.

0 komentar:

Posting Komentar