Oleh : Abdullah
Nasir*
* Mahasiswa
Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadits IAIN Walisongo Semarang.
Abstrak
Masalah kemiskinan
di Indonesia seakan-seakan menjadi virus tersendiri dalam kehidupan. Sedikit
demi sedikit kemiskinan semakin meluas dan mengancam akan kelangsungan hidup
masyarakat Indonesia yang bahagia. Hal yang seperti ini akan berbahaya jika
tetap dibiarkan tanpa adanya tindakan yang tanggap, sigap, sesuai dan mampu menjawab masalah tersebut.
Perlu penorobasan baru untuk mengatasinya mengingat tindakan yang diambil oleh
pemerintah Indonesia tidak mampu mengatasi masalah tersebut, bahkan menjadikan
masalah itu sebagai identitas Indonesia. Islam datang dengan membawa nuansa
damai dan memberikan beberapa penawaran metode dalam mengatasi maslah
kemiskinan di Indonesia. Penawaran metode yang praktis tetapi mampu mengatasi
masalah tersebut. Dalam Islam, terdapat pemahaman yang bersifat transformatif
yang menginginkan transformasi terhadap struktur lewat penciptaan relasi secara
fundamental yang baru dan lebih adil dalam bidang ekonomi, politik, dan kultur.
Ini merupakan proses panjang untuk mewujudkan kehidupan ekonomi yang tidak
eksploitatif, politik tanpa penindasan, kultur tanpa dominasi dan hegemoni
serta penghormatan HAM.
A.
Latar Belakang
Problem kemiskinan yang terjadi di Indonesia dewasa ini
kian merajalela. Lebih dari setengah dari penduduk Indonesia berada pada
tingkat bawah garis merah (kemiskinan). Kemiskinan ini terjadi disebabkan oleh
penduduk Indonesia itu sendiri dan menjadi sebuah virus tersendiri bagi
Indonesia. Indonesia yang dikatakan mempunyai tanah yang subur, kaya akan sumber
alamnya, namun, hal itu tampak menjadi bahan ucapan jika melihat keadaan yang
sebenarnya. Keadaan inilah yang seharusnya menjadi topik utama dalam perhatian
pemerintah bukan kondisi para artis papan atas Indonesia dan kondisi pengusaha
sukses Indonesia. Hal inilah yang mengakibatkan secara berangsur kemiskinan
yang terjadi di Indonesia sulit teratasi dan bisa dikatakan menjadi identitas
tersendiri bagi Indonesia.
Setiap sesuatu pasti
mempunyai dampak negatif dan positif. Seperti halnya dampak dari modernisasi
dan globalisasi. Khusunya di Indonesia, kaum minoritas di sana dianggap sebagai
“orang-orang yang tersisih” dari perubahan yang terjadi. Dan itu juga terjadi
pada sebagian kaum mayoritas. Mereka yang lemah yakni rentan ekonomi dan
politik, lemah harkat dari kemanusiaannya. Hal ini seperti adanya sistem “hukum
rimba” - yang kuat yang menjadi berkuasa-. Proses globalisasi yang terjadi
dewasa ini memiliki pengaruh besar
bagi perkembangan nilai agama. Keadaan ini mendapatkan sorotan yang beragam dari kalangan pemikir dan
aktivis agama. Agama sebagai pandangan yang terdiri doktrin dan nilai,
memberikan pengaruh besar pada kehidpuan masyarakat. Hal ini dibenarkan oleh
para pemikir, diantaranya, Robert N. Bellah dan Jose Casanova, mereka
membenarkan pentingnya peranan agama dalam kehidupan sosial politik masyarakat dunia.
Agama mempunyai peranan yang penting dan menjadi sebuah
bagian tersendiri dalam kehidupan masyarakat. Hal itu mencakup dalam kehidupan
sosial, politik, dan pribadi masyarakat itu sendiri. Agama sebagai sebuah
ikatan satu dengan yang lain yang harus dipegang dan dipatuhi, karena hal itu
akan membawa kebahagian dan keharmonisan bagi kehidupan masyarakat. Agama mampu
menjawab masalah yang sedang melanda masyarakat. Dari masalah keluarga, sosial,
dan politik.
Bagaimana Islam berbicara tetang kemiskinan, khususnya di
Indonesia?
Hal inilah yang menjadi sebab tersendiri bagi penulis
untuk membahas lebih lanjut dan detail mengenai persoalan tersebut yang akan
dibahas dalam makalah ini. Penulis ingin mengenalkan apa itu islam, dan
bagaimana Islam mengatasi dan menjawab persoalan yang sedang dirasakan
masyarakat Indonesia yaitu kemiskinan.
B.
Teologi Islam Menjawab
Kemiskinan
Agama seringkali menjadi tumpuan umat islam dalam
menghadapi problem kehidupan. Menjadi tempat keluh kesah, pelipur lara dan
lain-lain. Seakan-akan agama hanya dianggap sebagai wadah saja, tanpa adanya
pandangan lain yang menyebutkan agama membantu dalam mewujudkan keshalehan
sosial dalam kehidupan ini. Pandangan seperti inilah yang menyebabkan
kemunduran dalam umat itu sendiri. Kurang memahami apa itu agama, bagaimana
penerapannya dalam kehidupan ini. Maka dari itu, perlu adanya penekenan dalam
memberikan pengertian mendalam tentang agama dan penerapannya dalam kehidupan
ini.
Agama merupakan sebuah
identitas masyarakat dalam bersosial. Seua hal ihwal mengenai etika masyarakat
semua berdasarkan agama. Dalam negara Indonesia, terdapat 5 agama yang disahkan
oleh pemerintah, yaitu, Islam, Kristen, Katolik, Budha, dan Hindhu. Dari semua
itu, mempunyai jalan dan identitas yang yang berbeda, namun tetap dalam satu
jalur tujuan, yaitu mewujudkan kebaikan, dari arah sosial, politik, ekonomi,
dan pribadi (akhlak) diri sendiri. Dalam ranah sosial, agama menjadi alat yang
canggih dan menjadi sebuah agen yang secara aktif melakukan perubahan terhadap
tatanan sosial masyarakat yang telah usang.
Agama harus bisa menjadi senjata yang dapat mempertahankan hak khusus
dan kekuasan “kasta yang tinggi”[2].
Mayoritas masyarakat Indonesia beridentitas Islam. Sehingga
banyak nilai-nilai Islam yang tersebar dan menjadi prinsip kehidupan
masuarakat. Islam dijadikan tameng untuk menjawab persoalan-persoalan yang ada.
Islam yang masuk di Indonesia pada abad 6 H. mampu menyulap tatanan sosial
msasyarakat. Dari etika berbicara, berhubungan dengan yang lain, sampai hal-hal
yang bersifat rahasia. Namun beberapa ilmuwan hanya mengeksplorasi
pertanyaan-pertanyaan metafisika yang abstrak, sehingga mereka berada pada
lingkungan yang tidak menyentuh sedikitpun tentang masalah eksistensial
kemanusiaan maupun kepastian nasib manusia. Bagi mereka agama hanya menjadi
latihan intlektual murni, tidak menjadi sebuah kode etik dan aturan moral yang
dinamis yang mampu menjadi sebuah prinsip hidup pemeluknya untuk mengarahkan
kehidupan spiritualnya ke arah kehidupan yang lebih bermakana, tidak menjadi menjadi
rangkaian ibadah yang kering dan doktrin yang abstrak dan metafisis yang sulit
dipahami.[3]
Masalah sosial ini sangat mengganggu stabilitas kehidupan
masyarakat, terutama masalaha kemiskinan. Masalah kemisikinan yang merajalela
di Indonesia seakan-akan dibiarkan tanpa adanya penanganan yang serius. Ini
dapat dibuktikan dengan naiknya angka kemiskinan di Indonesia ini. Tidak
diketahui bagaimana mengatasi problem kemiskinan yang terjadi. Dari tatanan
sosial yang sudah dibentuk oleh pemerintah, tidak mampu menjwab persoalan
-kemiskinan- yang ada. Menurut hemat penulis, ini disebabkan karena tidak
adanya penyatuan dan penerapan telogi Islam - agama yang menjadi mayoritas di
Indonesia -. Dari pemerintah terlaru mengandakan naluri mereka untuk menjawab
persoalan yang ada. Maka dari itu, sangatlah baik jika tatanan sosial dibentuk
dengan metode yang Islam tawarkan. Metode yang praktis tetapi mampu membawa
perubahan tatanan sosial ke arag yang lebih baik. Dalam Islam, terdapat sistem penghematan
ekonomi dan pemenuhan kebutuhan hidup. Umat
islam diharuskan mampu mejadikan sistem tersebut sebagai jalan untuk
mendapatkan kehidupan sosial dan ekonomi yang baik, sehingga rotasi kehidupan
umat islam sendiri akan membaik dan akan mengakibatkan menurunnya nilai
kemiskinan dalam umat islam.
Ketika berbicara tentang kemiskinan dan Islam, akan lebih
menarik jika pembicaraan tesebut dilakukan dengan pendekatan yang dipakai
al-Quran dalam membahas masalah tersebut. Seperti yang dikatakan oleh Asghar
Ali Enginer dalam bukunya “islam dan teologi Pembebasna” :
“Agar diskusi
mengenai islam dan tantang kemiskinan ini lebih menarik, maka perlu memahami
pendekatan yang dipakai Al-Qur’an dalam membahas masalah-masalah tertentu yang
berkaitan dengan tema tersebut. Nabi-nabi yang disebutkan di dalam Al-Qur’an,
sebagaimana sebagaimana dikemukakan oleh seorang pemikir Islam Iran, Ali
Shari’ati, berasal dari kalangan masyarakat biasa, bukan bagian dari kelompok
kemapanan atau pemimpin yang berkuasa (kecuali Nabi Daud dan Sulaiman). Kita
Suci Al-Qur’an dengan jelas menyebutkan, “Dialah yang mengutus di antara orang
yang buta huruf seorang rasul dari kalangan mereka sendiri” (62:2). Jelaslah,
Al-Qur’an menyatakan bahwa Tuhan mengustus nabi-nabi-Nya kepada manusia itu
sendiri. Nabi-nabi itu berdiri di tengah-tegah kalangan masyarakat dan tidak
pernah mengidentifikasi diri dengan penguasa atau dengan kelas yang berkuasa
(mala)”
Jelaslah dari
metode yang berikan Islam –merujuk pada isi pendapat di atas- dapat membuat
perubahan pada tatanan sosila, seperti pengutusan Nabi Muhammad yang mampu
menyulap kehidupan masyarakat arab yang tidak bermoral menjadi masyarak yang
bermoral dalam kancah Internasional. Hal itu juga dapat dijadikan kiasan bahwa
ketertindasan dan kemiskinan bukanlah merupakan takdir tapi merupakan “ihwal sebab-akibat”. Nabi-nabi
yang awalnya merupakan orang-orang yang tertindas mampu menjadi orang yang kuat
asal dia bekerja keras, berdo’a dan sungguh-sungguh. Ketertindasan dan
kemiskinan yang berada pada masyarakat harus diyakini bahwa itu semua tidaklah
abadi. Dan bukan merupakan takdir Tuhan bahwa kita akan tertindas secara terus
menerus. Secara tidak
langsung, Tuhan,
melaui nabinya, menginginkan manusia menjadi makhluk yang aktif. Aktif dalam
menjadikan jiwanya menjadi jiwa yang besar sehingga persoalaan yang akan
menimpa dengan mudah mampu ditangani.
Tawaran metode yang diberikan Islam hanya menjadi bahan
pemikiran belaka, tidak ada penanganan lebih lanjut mengenai hal itu. Ini
disebabkan karena adanya modernisasi yang memberi dampak negatif pada etika dan
pemikiran masyarakat, meskipun dia juga memberikan dampak yang positif juga
terhadap kemajuan masyarakat Indonesia. Kemewahan dan kesenangan yang diberikan
oleh modernisasi memunculkan perasaan jenuh dan malas dalam mempelajari Islam
dan penerapanya dalam kehidupan ini. Islam sering dijadikan kambing hitam
terhadap masalah-masalah yang ada. Keadaan inilah yang membuat pemeluk Islam
Indonesia mayoritas berada dalam garis kemiskinan. Mereka tidak mampu melakukan
dan menerapkan metode yang diberikan Islam. Mereka merasa Islam hanya sebatas
agama dan tidak terdapat nilai yang mampu direalisasikan pada realitas
kehidupan.
Menurut pemahaman modernis - pemahaman yang bersifat
rasional dan lawan dari pemahaman tradisionalis - ini percaya bahwa masalah yang dihadapi kaum
tertindas dan miskin, yang pada dasarnya masalah tersebut berakar pada
persoalan “karena ada yang salah dari sikap mental, budaya, ataupun teologi
mereka”[4].
Namun, pendapat ini jauh berbeda dengan pemahaman tradisionalis yang mengatakan
bahwa kemiskinan dan ketertindasan adalah ketentuan dan rencana Tuhan[5].
Hal itu juga berbeda dengan apa yang dikemukakan dalam pemahaman revivalis.
Mereka berpendapat bahwa terdapat faktor internal dan eksternal yang menjadi
persoalan kemiskinan dan ketertindasan. Bagi mereka, masalah itu disebabkan
karena semakin banyaknya kaum tertindas terutama umat Islam Indonesia yang
justru memakai ajaran atau isme lain sebagai dasar pijakan dari pada
menggunakan al-Quran sebagai acuan dasar dan prinsip pada kehidupan mereka.
Pandangan ini berangkat dari keyakinan bahwa al-Quran pada hakikatnya telah
menyediakan petunjuk secara komplit, jelas, dan sempurna sebagai fondasi dalam
kehidupan masyarakat dan negara. Selain itu, mereka menganggap keberedaan isme
lain membawa ancaman bagi umat Islam khususnya Indonesia[6].
Dari pemahaman-pemahaman tersebut, penulis merasa tidak ada yang sesuai jika
kita melihat kondisi para pemeluk Islam Indonesia dewasa ini. Penulis lebih
sepakat dengan pemahaman transformatif yang mengatakan bahwa ketertindasan dan
kemiskinan disebabkan oleh adanya sistem dan struktur ekonomi, politik, dan
kultur yang tidak adil dan hanya memberi keuntungan pada sebagian kecil
manusia. Mereka menginginkan penerobosan baru dengan melakukan transformasi
terhadap struktur lewat penciptaan relasi secara fundamental yang baru dan
lebih adil dalam bidang ekonomi, politik, dan kultur. Ini merupakan proses
panjang untuk mewujudkan kehidupan ekonomi yang tidak eksploitatif, politik
tanpa penindasan, kultur tanpa dominasi dan hegemoni serta penghormatan HAM.
Keadilan adalah prinsip fundamental dari pemahaman ini[7].
Pemahaman seperti ini sesuai dengan apa yang Islam inginkan.
Pemahaman transformatif
ini berada dan membela golongan masyarakat yang tertindas dan miskin.
Dan juga dengan
jelas dan tanpa ragu-ragu al-Quran berdiri
dipihak golongan masyarakat lemah dalam menghadapi para
penindas. Al-Quran menyesalkan, bahkan menegur orang-orang tidak mau menolong mereka yang teraniaya.[8] Seakan-akan
al-Quran membenci akan adanya kemiskinan dan ketertindasan, karena al-Quran
menginginkan kesamaan dan kesetaraan dalam kehidupan.Begitu pula dengan Nabi
Muhammad yang membenci kemiskinan dan kelaparan. Ada banyak hadis yang
membuktikan kebenaran pernyataan tersebut. Hadis yang diriwayatkan oleh Nissi berbunyi,
“Ya tuhan, aku berlindung kepada-Mu dari kemiskinan, kekurangan dan kehinaan,
dan aku berlindung kepada-Mu dari keadaan teraniaya dan perilaku aniaya
terhadap orang lain”.[9] Dalam hadits ini,
hal yang patut dicermati adalah setelah mereka kaum lemah bebas dari ketertindasan,
mereka tetap memifikirkan kaum yang tertindas yang lain. Dilihat dari mereka
yang telah lepas dari ketertindasan tetap meminta perlindungan dari keadaan
penganiayaan dan keadaan yang menyebabkan mereka sebagai seorang penindas.
Dalam ibarat meminta perlindungan dari sifat “lupa daratan”.
C.
Kesimpulan
Dari
beberapa pemhasan diatas, kita dapat menarik beberapa hal sebagai berikut;
1.
Pada dasarnya Al Qur’an memihak kepada
orang yang lemah terutama ketika ia ditindas oleh orang-orang mustakbirin, para
penguasa yang sombong.
2.
Sejarah kenabian dalam islam dapat
dijadikan sebagai inspirasi dan pegangan bahwasanya ketertindasan itu memang
harus dilawan.
3.
Perlunya penyuluhan teologi baru bagi
fakir miskin yang tertindas. Teologi yang lama hanya telah menjadikan mereka tidak
bertindak aktif dalam menghidari kemiskinan dan ketertindasan.
4.
Sebagai cendikiawan dan orang-prang
islam yang faham realitas ini, maka perlunya memberikan pemahaman baru kepada
mereka.
Daftar Pustaka
Engineer,
Asghar Ali, Islam dan
Teologi Pembebasan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2000).
Tasmin,
Teologi Kaum Tertindas, (Kediri: STAIN Kediri Press, 2009).
[1] Dikumpulkan guna memenuhi
tugas Ujian Tengah Semester (UTS) mata kulilah Bahasa Indonesia, pada tanggal,
04 Desember 2012
0 komentar:
Posting Komentar