Selasa, 28 Mei 2013

Orientalis Belanda : Christiaan Snouck Hurgronje

Christiaan Snouck Hurgronje[1]
Zaimul Asroor
Zainal Abidin
Abdullah Nasir[2]

Abstrak
                    Strategi yang matang dan tepat sasaran adalah senjata yang jitu jika ingin menjadi diri sebagai seorang pemenang dalam perlawanan. Hal ini telah dilakukan Belandan dalam melawan perlawanan dari umat Islam Aceh pada saat itu. Dengan strategi yang matang mereka mampu melawan perlawanan yang ada. Yang memang perlawanan itu sangatlah sulit diatasi sehingga mengharuskan bagi orang Belanda untuk memeras otak mereka untuk menciptakan strategi yang tepat untuk melawan perlawanan tersebut.
                    Christiaan Snouck Hurgronje. Seorang tokoh orientais Belanda - yang lahir di Tholen, Oosterhout, 8 Februari 1857 – meninggal di Leiden, 26 Juni 1936 pada umur 79 tahun – yang mampu menjadi tongkat awal keberhasilan Belanda dalam  melawan perlawan yang ada. Dengan teori dikotomisasi antara politik dan agama, mampu melemahkan kekuatan umat Islam Aceh.

Kata Kunci : Biografi Snouck, Pemikiran, dan Gerakan di Aceh
I.                   Latar Belakang
Pada era Belanda menjajah Nusantara, banyak kesulitan yang dialami mereka. Yang paling menonjol adalah apa yang terjadi di Aceh. Dengan perlawanan yang kupat terhadap Belanada, sehingga mengharuskan Belanda untuk berpikir keras dengan taktik yang matang untuk melawan dan memporak-porandakan mereka. Karena pada saat kekuatan Aceh sangat di dominasi dengan penyatuan antara politik yang ada dengan agama mereka. Sehingga menjadikan Belanda harus mampu memisahkan antara politik dan agama, yang dianggapnya agama adalah  milik individu. Itu hanyalah sebuah metode. Sedangkan Belanda tidak paham mengenai ajaran agama (baca : Islam) mereka. Maka dari itu, Belanda mensiasati untuk menjadikan seorang utusan untuk belajar agam Islam. Dialah Snouck Hurgronje. Dengan sifat kemunifakannya yang penuh tipu daya muslihat yang pada akhirnya dia mampu mempengaruhi umat Islam di Aceh yang menjadikan corak pemikiran umat Islam terpengaruh dengan corak pemikiran orang barat dengan taktik dari Snouck yang sangat jitu dan tepat.
Berangkat dari kegelisahan ini penulis ingin mengajak – dengan adanya makalah ini - kepada pembaca untuk berhati-hati terhadap lingkungan kita. Tidak bisa dipungkiri bahwa kejadian seperti itu akan statis sampai di situ saja. Melainkan akan terus berkelanjutan terjadi.

II.                Biografi Snouck Hurgronje
Christiaan Snouck Hurgronje (lahir di Tholen, Oosterhout, 8 Februari 1857 – meninggal di Leiden, 26 Juni 1936 pada umur 79 tahun) adalah orientalis Belanda. Seperti ayah, kakek, dan kakek buyutnya yang betah menjadi pendeta Protestan, Snouck pun sedari kecil sudah diarahkan pada bidang teologi. Tamat sekolah menengah, dia melanjutkan ke Universitas Leiden untuk mata kuliah Ilmu Teologi dan Sastra Arab, 1875. Lima tahun kemudian, dia tamat dengan predikat cum laude dengan disertasi Het Mekaansche Feest (Perayaan di Makkah). Tak cukup bangga dengan kemampuan bahasa Arabnya, Snouck kemudian melanjutkan pendidiklan ke Mekkah, 1884. Di Mekkah, keramahannya dan naluri intelektualnya membuat para ulama tak segan membimbingnya. Dan untuk merebut hati ulama Mekkah, Snouck memeluk Islam dan berganti nama menjadi Abdul Ghaffar.
Namun, pertemuan Snouck dengan Habib Abdurrahman Azh-Zhahir - seorang keturunan Arab yang pernah menjadi wakil pemerintahan Aceh, kemudian "dibeli" Belanda dan dikirim ke Mekkah -  mengubah minatnya. Atas bantuan Zahir dan Konsul Belanda di Jeddah JA. Kruyt, dia mulai mempelajari politik kolonial dan upaya untuk memenangi pertempuran di Aceh. Sayang, saran-saran Habib Zahir tak ditanggapi Gubernur Belanda di Nusantara. Karena kecewa, semua naskah penelitian itu Zahir serahkan pada Snouck yang saat itu, 1886, telah menjadi dosen di Leiden.
Snouck seperti mendapat durian runtuh. Naskah itu dia berikan pada kantor Menteri Daerah Jajahan Belanda. Snouck bahkan secara berani menawarkan diri sebagai tenaga ilmuwan yang akan dapat memberikan gambaran lebih lengkap tentang Aceh.
Pada 1889, dia menginjakkan kaki di Pulau Jawa, dan mulai meneliti pranata Islam di masyarakat pribumi Hindia-Belanda, khususnya Aceh. Setelah Aceh dikuasai Belanda, 1905, Snouck mendapat penghargaan yang luar biasa. Setahun kemudian dia kembali ke Leiden, dan sampai wafatnya,26 Juni 1936, dia tetap menjadi penasihat utama Belanda untuk urusan penaklukan pribumi di Nusantara. Sosok Snouck memang penuh warna,
1.      Bagi Belanda, dia adalah pahlawan yang berhasil memetakan struktur perlawanan rakyat Aceh.
2.      Bagi kaum orientalis, dia sarjana yang berhasil.
3.      Tapi bagi rakyat Aceh, dia adalah pengkhianat tanpa tanding. Namun, penelitian terbaru menunjukkan peran Snouck sebagai orientalis ternyata hanya kedok untuk menyusup dalam kekuatan rakyat Aceh. Dia dinilai memanipulasi tugas keilmuan untuk kepentingan politik.
Selain tugas memata-matai Aceh, Snouck juga terlibat sebagai peletak dasar segala kebijakan kolonial Belanda menyangkut kepentingan umat Islam. Atas sarannya, Belanda mencoba memikat ulama untuk tak menentang dengan melibatkan massa. Tak heran, setelah Aceh, Snouck pun memberi masukan bagaimana menguasai beberapa bagian Jawa dengan memanjakan ulama.
Demikianlah sosok Snouck Hurgronje yang dianggap sosok kontroversial khususnya bagi kaum muslimin Indonesia, terutama kaum muslimin Aceh.[3]

III.             Tokoh yang mempengaruhinya
Ds. J. Scharp (1756-1829), buyut (ayah kakeknya) dari pihak ibu, bisa dikatakan sebagai salah satu yang sangat mempengaruhi perkembangan pemikiran Christiaan Snouck Hurgronje. Ds. J. Scharp, seorang orator ulung Rotterdam di zamannya. Pada 1824 berhasil menyelesaikan buku pelajaran Islam Korte schets over Mohammed en de Mohammadanen dan Hendleiding voor de kwekelingen van het Nederlandsche Zendelinggenootschap, atau Sketsa Singkat tentang Muhammad dan Kaum Muslimin. Buku Pegangan bagi Para Siswa Perhimpunan Pengabar Injil Belanda. Buku ini menguraikan kelemahan ajaran Islam, disertai trik-trik melumpuhkan ajaran Islam. Selain karena pendidikan modern yang diperoleh di Leiden, pelajaran dari Ds. J. Scharp bisa dianggap sangat mempengaruhi pola pemikiran Christiaan Snouck Hurgronje sebagai orientalis kolonial di kemudian hari.
Abraham Kuenen, salah satu modernis Leiden yang dikenal sebagai ahli Perjanjian Lama, telah memberikan pelajaran kritik biblik atau kritik atas Kitab Suci kepada Christiaan Snouck Hurgronje. Kritik biblik yang menggunakan metode rasional menghasilkan pemikiran kontroversial dan kadang sangat bertentangan dengan ajaran agama yang dianut di kala itu. Akibat perjumpaan-perjumpaan dengan kaum modernis Lieden Christiaan Snouck Hurgronje menjadi salah satu pengikut fanatik rasionalisme Leiden. Ciri-cirinya adalah penolakan terhadap sesuatu yang irasional. Trinitas dan posisi Yesus sebagai anak Allah dalam ajaran Kristen (Katholik) ditolaknya karena dianggap bagian ajaran agama yang tak masuk akal.[4]

IV.              Karya-karyanya
Karya ilmiah Snouck terbagi dalam dua jenis, yaitu karya dalam bentuk buku dan dalam bentuk makalah-makalah kecil. Di antara hasil karya besarnya ialah , tulisannya tentang kota makah, terdiri atas dua bagian, bagian pertama terbit di kota Den Hag pada tahun 1888 dan bagian kedua juga terbit di kota yang sama pada tahun 1889. Kemudian karyanya yang berjudul De Atjehers, dalam dua bagian, terbit di Batavia dan Leiden dan Daerah Gayo dan Penduduknya. Bagian kedua dari buku Makah, dan bagian pertama dan kedua dari buku De Atjehers, Sudah diterjemahkan kedalam bahasa Inggris. Buku tersebut memuat laporan ilmiah tentang karakteristik masyarakat Aceh dan buku ini diterbitkan. Tapi pada saat yang sama, ia juga menulis laporan untuk pemerintah Belanda berjudul "Kejahatan Aceh." Buku ini memuat alasan-alasan memerangi rakyat Aceh.
Karya-karyanya dalam bentuk makalah adalah “Munculnya Islam”, Perkembangan Agama Islam”, “Perkembangan Politik Islam”, dan “Islam dan Pemikiran Modern”. Semua makalah itu telah dikumpulkan oleh muridnya, A.J. Wensinck, dengan judul Bunga rampai dari Tulisan Christian Snouck Hurgronje,dalam enam jilid, jilid keempat terdiri atas empat bagian. Sistematika kumpulan tulisan itu adalah sebagai berikut; jilid pertama tentang Islam dan sejarahnya, jilid kedua tentang syariat Islam, jilid ketiga tentang Jazirah Arab dan Turki, jilid keempat tentang Islam di Indonesia, jilid kelima tentang bahasa dan sastra, dan jilid keenam tentang kritik buku, dan tulisan-tulisan lain dan daftar indeks, serta rujukan-rujukan.[5]

V.                 Gerakan Snouck Hurgronje Dalam Memecah Belah Islam di Aceh
Sebelum kita membahas mengenai gerakan dan pemikiran Snouck dalam memecah belah Islam, ada baiknya kita singgung mengenai maksud dan tujuan kaum orientalis dan kepentingan-kepentingan mereka dalam menjalankan misinya ke ranah dunia Islam. Berawal dari kekalahan perang Salib yang menyebabkan kaum Yahudi dan Nasrani terpukul karena kalah melawan kaum Muslim. Dan karena merasa tidak kuat dalam menghadapi umat Islam, mereka terpaksa menahan diri untuk berperang walaupun sebenarnya dalam hati mereka ingin sekali memerangi kaum muslim.
Pada awal abad 19 M, ketika negara-negara Eropa telah tumbuh dan berkembang perekonomiannya, serta kuat pertahanannya, sementara kaum muslim pada waktu dinilai semakin lengah dan lamban sehingga umat Islam jauh tertinggal dari umat Yahudi dan Nasrani. Momen ini dimanfaatkan oleh Yahudi dan Nasrani yang mempunyai dendam lama untuk membalaskan dendam pada kaum muslim. Namun mereka tidak lagi menggunakan kekuatan fisik untuk menyerang, mereka mengubah siasat menjadi imaji-imaji dan penyelidikan reguler mengenai dunia ketimuran (orientalis). Ditambah lagi ketika gereja memberi peluang untuk mengkaji dunia ketimuran, bahkan kaum kolonialis dan imperialis yang memperoleh keberhasilan tak lepas juga dari siasat ini. Snouck Hurgronje yang akan kita bicarakan ini termasuk golongan orientalis yang mempunyai motif imperilais.
Sejarah memperlihatkan bahwa perlawanan rakyat Aceh terhadap penjajah Belanda merupakan salah satu perlawanan tersengit dari umat Islam Indonesia terhadap kaum kuffar Belanda. Perlawanan rakyat Aceh bukan perlawanan yang dilandasi pemikiran sempit nasionalisme. Perlawanan mereka adalah perlawanan ideologis dan aqidah antara umat Islam yang terjajah dan kaum kafir penjajah Belanda. Setelah ditelusuri, pemikiran ini dibawa oleh para ulama dan tokoh Aceh yang pulang dari Makkah setelah melakukan ibadah Haji. Seruan jihad datang dari tanah suci Makkah yang saat itu berada dibawah kekuasaan Khilafah Turki Utsmani.
Fenomena ini dipahami dengan jelas oleh Snouck Hurgronje. Setelah melakukan pengamatan terhadap fakta Perang Aceh dari perbincangan orang-orang Aceh yang berziarah ke Makkah, Snouck berinisiatif menawarkan bantuan kepada pemerintah Belanda untuk membantu mematikan semangat perlawanan rakyat Aceh.
Selama tujuh bulan Snouck berada di Aceh, sejak 8 Juli 1891. Baru pada 23 Mei 1892, Snouck mengajukan Atjeh Verslag, laporannya kepada pemerintah Belanda tentang pendahuluan budaya dan keagamaan, dalam lingkup nasehat strategi kemiliteran Snouck. Sebagian besar Atjeh Verslag kemudian diterbitkan dalam De Atjeher dalam dua jilid yang terbit 1893 dan 1894. Dalam Atjeh Verslag-lah pertama disampaikan agar kotak kekuasaan di Aceh dipecah-pecah. Di Aceh, Snouck mendekati ulama untuk bisa memberi fatwa agama. Ini bisa dilakukan karena Snouck dianggap seorang muslim dan memiliki ilmu keagamaan yang cukup mumpuni. Tapi fatwa-fatwa itu berdasarkan politik devide et impera. Ia berkhutbah untuk menjauhkan agama dan politik.
Berdasarkan konsep Snouck, pemerintah kolonial Belanda dapat mengakhiri perlawanan rakyat Aceh dan meredam munculnya pergolakan-pergolakan di Hindia Belanda yang dipelopori oleh umat Islam. Pemikiran Snouck -berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya- menjadi landasan dasar doktrin bahwa “musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai Agama, melainkan Islam sebagai Doktrin Politik”.
Konsep Snouck berlandaskan fakta masyarakat Islam tidak mempunyai organisasi yang “Tersusun” dan “Universal”. Disamping itu kerana tidak ada lapisan “Pemutus Hukum” atau kependetaan seperti pada masyarakat Katolik, maka para ulama Islam tidak berfungsi dan berperanan seperti pendeta dalam agama Katolik yang pada ketika itu menerima kata putus daripada para pendeta.
Tidak semua orang Islam harus diposisikan sebagai musuh, kerana tidak semua orang Islam Indonesia merupakan orang fanatik dan memusuhi pemerintah “kafir” Belanda. Bahkan para ulamanya pun jika selama kegiatan Ubudiyah mereka tidak diusik, maka para ulama itu tidak akan menggerakkan umatnya untuk memberontak terhadap pemerintah kolonial Belanda. Namun disisi lain, Snouck menemukan fakta bahwa agama Islam mempunyai potensi menguasai seluruh kehidupan umatnya, baik dalam segi sosial maupun politik.

VI.              Tiga Formulasi Snouck Tentang Permasalahan Islam
Dengan adanya kondisi diatas, Snouck melakukan dikotomisasi terhadap terhadap islam, yaitu agama sebagai “Ibadah ritual” dan agama sebagai kekuatan sosial politik. Yang kedua inilah yang menurutnya sebagai musuh kolonialisme Belanda.[6] Selanjutnya Snouck memformulasikan dan mengkategorikan permasalahan Islam menjadi tiga bagian, yaitu bidang agama murni, bidang sosial kemasyarakatan dan bidang politik. Ini juga yang dikenal dengan Islam Politiek, yakni kebijakan pemerintah Belanda dalam menangani permsalahan Islam di Hindia Belanda.
1.      Dalam bidang agama murni dan ibadah, sepanjang tidak mengganggu kekuasaan, maka pemerintah kolonial memberikan kemerdekaan kepada umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya. Pemerintah harus memperlihatkan sikap seolah-olah memperhatikan agama Islam dengan memperbaiki tempat peribadatan, serta memberikan kemudahan dalam melaksanakan ibadah haji.
2.      Bidang sosial kemasyarakatan, pemerintah kolonial memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku dan membantu menggalakkan rakyat agar tetap berpegang pada adat tersebut yang telah dipilih agar sesuai dengan tujuan mendekatkan rakyat kepada budaya Eropa. Snouck menganjurkan membatasi meluasnya pengaruh ajaran Islam, terutama dalam hukum dan peraturan.
3.      Dalam bidang politik, bentuk-bentuk agitasi politik Islam yang akan membawa rakyat kepada fanatisme dan kebangkitan Islam harus ditumpas. Penumpasan itu jika perlukan dilakukan dengan kekerasan dan kekuatan senjata. Setelah diperoleh ketenangan, pemerintah kolonial harus menyediakan pendidikan, kesejahteraan dan perekonomian, agar kaum pribumi mempercayai maksud baik pemerintah kolonial dan akhirnya rela diperintah oleh “orang-orang kafir”.
Strategi Snouck kemudian didukung oleh pemerintah kolonial dengan menerapkan konsep devide et impera dengan memanfaatkan kelompok elit priyayi dan Islam abangan untuk meredam kekuatan Islam dan pengaruhnya di tengah masyarakat. Kelompok ini diberi kesempatan untuk menempuh jalur pendidikan Barat sebagai bagian dari “Politik Asosiasi”. Politik asosiasi sendiri adalah program yang dijalankan lewat jalur pendidikan bercorak barat dan pemanfaatan kebudayaan Eropa terhadap kaum pribumi agar mereka lebih terasosiasi dengan negeri dan budaya Eropa. Pribumi hasil didikan Barat ini yang kemudian dijadikan perpanjangan tangan pemerintah kolonial dalam mengemban dan mengembangkan amanat politik asosiasi. Secara berangsur-angsur pejabat Eropa dikurangi, digantikan oleh pribumi pangreh praja yang telah menjadi ahli waris budaya asosiasi hasil didikan sistem Barat. Akhirnya Indonesia diperintah oleh pribumi yang telah berasosiasi dengan kebudayaan Eropa.[7]

VII.           Pandangannya tentang Islam, al-Qur’an dan Hadist
Menurut Snouck, Islam adalah agama Muhammad dan secara terang-terangan menyatakan bahwa Islam dipandang sebagai faktor negatif, karena Islam sering menimbulkan semangat fanatisme agama di kalangan muslimin. Adapun pandangan Snouck terhadap hadis Nabi yang mengikuti riset dari Ignaz Goldziher yaitu kebenaran hadis sebagai ucapan Muhammad SAW tidak terbukti secara ilmiah. Hadis hanyalah rekayasa atau buatan umat Islam abad kedua hijriah. Dan pemikiran Ignaz Goldzhier mengenai hadis banyak yang menjadikan pijakan oleh para orientalis termasuk Snouck Hurgronje [8] dan al-Quran bukanlah wahyu, melainkan karangan Muhammad. Oleh karena itu, Hurgronje tidak mengakui kenabian Muhammad saw.[9]

VIII.        Kritikan Sarjana Muslim Terhadap Snouck
Menurut Dr. Raud rasyid. MA. Seandainya Hurgronje adalah peneliti objektif, ia tidak punya pilihan selain mengakui bahwa Islam adalah agama Allah, Al-Qur'an adalah wahyu, dan Muhammad saw. adalah penutup para nabi. Alasannya, prinsip-prinsip ini diterangkan dalam kitab-kitab samawi seperti Taurat dan Injil. Allah berfirman, yang artinya sebagai berikut. "(Yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, nabi yangummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalamTaurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka darimengerjakan yang mungkar."(Al-A'raf: 157).
Sifat-sifat Rasulullah bahkan telah diterangkan  dalamTaurat dan Injil, sama seperti yang tertuang dalam Al-Qur'an. Hal iniditegaskan kalangan ahli kitab yang telah memeluk Islam, seperti Ka'ab al-Ahbar dan Abdullah bin Salam. Di antara sifat-sifat tersebut dalam Taurat adalah sebagai berikut. "Wahai Nabi, sesungguhnya Kami mengutus Anda sebagai saksi, pembawa gembira, pemberi peringatan, dan penjaga bagi kaum yang buta huruf. Engkau adalah hamba sekaligus Rasul-Ku. Kunamai engkau Al-Mutawakkil, tidak keras dan kasar, tidak pula tinggi suara dan tercampur suaranya (serak) di  pasar, dan tidak membalas kejelekan dengan kejelekan, tapi memaafkan dan mengampuni."
Dr. Daud melanjutkan, seandainya objektif, Hurgronje akan mengakui kenabian Muhammad saw. seperti yang dilakukan oleh Buhaira saat mengetahui ciri-ciri Muhammad seperti yang dikabarkan oleh Nabi Musa a.s. dan Isa a.s.[10]

IX.              Kesimpulan
Dari apa yang telah dipaparkan di ata, jelaslah bahwa sosok orientalis seperti Snouck ini merupakan sosok yang berwarna. Bisa dikatakan berhasil (dalam pandangan orientalis lainnya), bisa juga dikatakan pahlawan (dalam pandangan Belanda), namun juga bisa dikatakan penghianat (dalam pandangan umat Islam – terutama rakyak Islam Aceh - ). Berbagai macam warna pandangan yang ditujukan kepada Snouck yang menjadikan kehadirannya memang sangat urgen atau bahkan masalah dari pihak lain. Dialah yang berhasil menjadi titik balik pemecah permasalahan yang dialami belanda ketika melawan umat Islam Aceh. Yang mampu memisahkan antara politik dan agama – yang menjadikan keterpisahan pusat kelemahan umat Islam Aceh -.
Mengenai Islam, al-Quran dan hadis, dia berpendapat bahwa Islam hanyalah agama Muhammad yang mampu menjadikan sikap fanatisme terhadap pemeluknya. Kemudian al-Quran dipandang sebagai ucapan Muhammad saja, bukan wahyu dari Allah SWT. Dan dia menilai – senada dengan Ignaz Goldzier – bahwa hadis hanyalah rekayasa semata. Tidak terbukti secara ilmiah bahwa itu adalah ucapan dari Muhammad. Maka dari itu dia tidak mengakui kenabian dari Muhammad SAW.

X.                 Daftar Pustaka
A. Abdul Hamid Ghurab, Menyinyingkap Tabir Orientalisme.hal. 135.
Dekonstruksi sunnah dari warisan kolonial. Html. 16 mei 2013.
http://arjaenim.blogspot.com/2013/04/tokoh-orientalisme-christian-snouck.html. Di unduh pada tanggal 19 Mei 2013.
http://buntexz.blogspot.com/2012/02/orientalisme-snouck-hurgronje.html di unduh pada tanggal 22 Mei 2013 pukul 23.33 WIB.
Kehidupan Snouck Hurgronje dan pemikiran Islam politik. Pdf.  16- 05- 2013.
Snouck hurgronje, Orientalisme. Html. 16 mei 2013.




[1] Di presentasikan pada hari Kamis, tanggal 23 Mei 2013 guna memenuhi tugas perkuliahan dalam mata kuliah Orientalisme al-Quran oleh Dosen Pengampu Ust. Sukendar.
[2] Mahasiswa Tafsir Hadis Fak. Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang,
[5] http://qienz.blogspot.com.snouck-hurgronje-dan-pemikirannya.html. 19- Mei- 2013.
[6] Kehidupan Snouck Hurgronje dan pemikiran Islam politik. Pdf.  16- 05- 2013.
[7] Snouck hurgronje, Orientalisme. Html. 16 mei 2013
[8] http://buntexz.blogspot.com/2012/02/orientalisme-snouck-hurgronje.html di download pada tanggal 22 Mei 2013 pukul 23.33 WIB.
[9] A. Abdul Hamid Ghurab, Menyinyingkap Tabir Orientalisme.hal. 135.
[10] Dekonstruksi sunnah dari warisan kolonial. Html. 16 mei 2013

0 komentar:

Posting Komentar