Jumat, 24 Mei 2013

Kitab Klasik Ma'anil Quran Karya al-Farra'


Studi Kitab Ma’ani al-Quran Karya Al-Farra’
Oleh : Abdullah Nasir (114211011)

Setiap orang memiliki sudut pandang yang berbeda mengenai penafsirannya sendiri. Perbedaan penafsiran dalam banyak hal ditentukan oleh karakter kepribadian, kapasitas intelektual serta lingkungan mufasirnya. Dengan semakin banyaknya cabang keilmuan sekarang, maka tidak menutup kemungkinan terjadinya pluralitas penafsiran dan karakternya menjadi semakin terbuka dengan sendirinya.

Hal itu dapat dilihat pada akhir abad kedua Hijriah, muncul kitab tafsir yang tersusun secara sistematis. kitab tersebut  ditulis oleh Yahya ibn Ziyad al-Farra’ dengan kitabnya Ma’ani al-Quran. Dalam karangannya itu, terdapat perbedaan yang mencolok bila kita membandingan dengan kitab-kitab yang lain. Ini mengapa, karena paa abad kedua Hijriyah aktifitas penafsiran lebih banyak berbentuk laporan tentang penafsiran generasi sebelumnya dibanding sebagai hasil kreativitas mandiri. Berangkat dari hal itu-lah sekiranya menjadikan kitab Ma’ani al-Quran karya Al-Farra’ sebagai bahan kajian lantaran keunikannya sebagai karya tafsir yang menyimpang dari mainstrem zamannya.

Sebelum terjun dalam karayanya, alangkah baiknya kita mengenal siapa Al-Farra’ itu.

Pada tahun 144 Hijriyah, lahir seorang penafsir asal kota Dailam, Persia yang bernama Abu Zakariya Yahya Ibn Ziyad Ibn ‘Abdillah Ibn Manzur al-Dailami. Lahir dari seorang Ibu berkebangsaan Persia sendiri yang merupakan bibi dari Muhammad Ibn al-Hassan murid dari Abu Hanifah. Ayah al-Farra’ adalah anggota pasukan perang al-Husain Ibn ‘Ali Ibn Abi Talib Ra yang mempunyai gelar al-Aqta’ dikarenakan tanganny terputus dalam sebuah peperangan bersama al-Husein. Namun menurut Ibn Khallikan yang putus tangannya adalah sang kakek, melihat jarak yang terlampu jauh antara perang al-Husein dengan kelahiran al-Farra’.

Yahya Ibn Ziyad mempunyai gelar al-Farra’ dikarenakan dia sangat mahir menguasai ungkapan bahasa atau ahli menganalisi wacana. Hal ini pun didukung dengan lingkungan dia berada. Dimana tempat kelahiran al-Farra’ –yaitu Kuffah- merupakan kota pelajar, tempat pengajaran berbagai cabang ilmu dan gudangnya ulama. Dan juga di kota Kuffah dan basrah –pada abad kedua dan ketiga Hijriyah- menjadi pusat studi filsafat, Lexiografi dan gramatik sebagai perangkat menstabilkan penggunaan bahasa Arab. Pada saat inilah muncul produk studi grammar Arab terbesar karya Sibawaih yang selalu menemani perjalanan intelektual al-Farra’. Namun disamping hal itu, faktor dalam dirinya-pun membantu dalam perkembangannya. Sifat kondusif untuk untuk pengembangan karir intelektualnya dan kekuatan daya hafal yang dimilikinya juga tidak kecil sumbangannya bagi al-Farra’.

Kapasitas intelektual di bidang bahasa semakin tinggi, hingga menjadikan al-Farra’ tokoh besar Kufah pasca al-Kissa’i. Menurut Sa’lab, dai menunjukkan peran intelektual yang tidak kecil daam mengangkat penji studi linguistik, terutama aspek gramatikalnya. Bahkan dia mengatakan kalau saja tidak ada al-Farra’ tentu bahasa Arab sudah tidak dapat mempertahankan eksistensinya lagi. Karena al-Farra’-lah yang telah menyelamatkan dan meluruskannya.

Akhirnya setelah menjalani kehidupannya kurang lebih 63 tahun dengan pengalam intelektualnya, al-Farra’ meningal dalam perjalanan pulang dari Makkah pada tahun 207 Hijriyah.

Sejarah Penulisan Kitab Ma’ani al-Quran

Menurut catatan sejarah tafsir, kitab ini pada dasarnya hanya pesanan dari seorang muridnya yang bernama ‘Umar Ibn Bakir yang tidak mampu menjawab pertanyaan gubernur al-Hassan Ibn Sahl menyangkut persoalan al-Quran. Berangkat dari hal inilah al-Farra’ mengumpulkan murid-muridnya pada hari tertentu hanya untuk mendiktekan kitab Ma’ani al-Quran. Namun cara yang ditempuh al-Farra’ bukan melalui konsep naskah terlebih dahulu tetapi secara langsung setelah dibacakan ayat tertentu oleh salah seorang murid yang ia tunjuk untuk membacakannya.[1] Diantara sekian banyak murid al-Faraa’, terdapat satu orang yang memilikiminat lebih dan tingkat intensitas yang lebih tinggi untut mencatat ceramah al-Faraa’. Orang itu bernama Muhammad Ibn al-Jahm al-Simarri yang hasil kodifikasiannya atas ceramah al-Farra’ sempat dicek dan dibaca ulang oleh al-Farra’ sendiri semasa hidupnya. Karena itulah al-Simarri menjadi perawi kitab Ma’ani al-Quran yang populer bila dibandingkan dengan perawi lainnya.

Meskipun disusun secara sistematis berdasarkan sistematika dalam Mushaf, sesuai dengan namanya, kitab ini tampak hanya meletakkan minat atas unit-unit tertentu dari sebuah ayat. Itulah mengapa seperti kitab-kitab tafsir abad pertengahan pada umumnya, kitab ini memberikan kesan sangat atomistik, hanya terkonsentrasi pada pada unit-unit kecil tertentu tanpa berpretensi untuk mengungkap pesan holistik al-Quran sebagai kitab hidayah.

Sumber bahan penafsirannya

“Persoalan pertama tentang penafsiran atau kupasan tentang I’rab al-Quran adalah kesepakatan para Qurra’ dan penulis mushaf untuk membuag alif dari kata ism dalam lafal bismillahirrahmanir rahim. Para Qurra’ tidak membuang alif dalam lafal fasabbih bismi rabbikal ‘azim (Qs. Al-Waqi’ah [56]: 74) ....”

Jelaslah bahwa posisi ahli qiraat sebagai bahan penafsirannya sedemikian tinggi. Dalam hal ini, dia tidak mengorek bagaiman penafsiran Nabi atau generasi pertama seperti yang dilakukan al-Tabari misalnya. Dia tidak menaruh perhatian dari sumber-sumber penafsiran dari mufasir terdahulu karena memang dia berbeda orientasi dan kepentingan dengan mereka. Dengan kata lain, al-Farra’ menggulkan orientasi pada gramatikal menjadi acuan dasar dalam penafsirannya yang beda dengan dasar mufair lainnya. Ini bukan berarti bahwa al-Farra’ beda sama sekali dengan mufasir lain dalam semua hal. Al-Farra’ juga tetap mengacu pada sumber-sumber lain yang lazim di kalangan mufasir pada umumnya. Hanya saja sumber-sumber lain ini hanya dirujuk sesekali saja, karena tidak diunggulkan olehnya.

Dalam pandangannya, mufasir itu berbeda dengan ahli qiraat dalam hal yang menyangkut kepentingannya sebagai peminat studi gramatikal Arab. Perbedaan itu lebih tampak jelas ketika al-Farra’ membahas potongan ayat dalam(Qs. 79: 11). Kata al-Nahirah dalam ayat ini oleh al-Farra’ memberi pernyataan :

“Beberapa qurra’ membacanya dengan pendek pada huruf na dan qurra’ yang lain membacanya dengan harakat panjang  (artinya para qurra’ menganggap sama konsekuensinya dalam penafsiran sehingga bisa dipakai kedua-duanya). Sedangkan para mufasir membedakan keduanya .....”


Obyek formal penafsiran al-Farra’

Dalam al-Quran, al-Farra’ tidak tertarik untuk menjadikan seluruh ayat menjadi sasaran penafsirannya. Dia hanya tertarik terhadap problem i’rab dalam beberapa unit tertentu dalam al-Quran. Itulah mengapa dia hanya tertarik dengan penggalan ayat-ayat tertentu saja. Mengingat tujuan tersirat al-Farra’ untuk memberikan uraian pemecahan problem i’rab al-Quran.

Satu hal yang menarik tentang penafsirannya ini adalah bahwa ada sedikit pergeseran antara terhadap ayat-ayat dalam surat pertama dalam mushaf dengan surat-surat bagian akhir mushaf. Untuk surat-surat pertama hanya dia pilih kata atau unit terkecil tertentu saja, sedang ntuk surat-surat akhri, lebih terkonsentrasi pada pemaknaan ayat-ayat pada umumnya secara lengkap seperti kasus surat al-‘Adiyat.

Dalam pernyataannya mengenai ayat 81 surat al-Baqarah, dia tertarik untuk berkomenar tentang perbedaan fungsi bala dengan fungsi kata jawab na’am.

“Kata bala hanay special sebagai kata jawab bagi pernyataan atau pertanyaan yang mengandung penyangkalan atau penolakan. Sedang kaa na’am ditempatkan sebagai kata jawab bagi pertanyaan yang tidak mengandung penolakan. Kata bala memang memiliki kedudukan yang sama dengan na’am, hanya saja yang pertama tidak akan digunakan kecuali ada pengingkaran di awalnya”

Contoh Penafsiran al-Farra'

Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwasannya al-Farra' adalah salah seorang ahli linguistik, sehingga tidak heran kalau produk penafsiran beliau lebih bercorak linguistik. Beliau lebih memfokuskan penafsirannya untuk mengupas aspek gramatikal al-Quran yang menurut beliau mungkin akan mempengaruhi terhadap pemaknaan al-Qur'an. Di bawah ini akan kami paparkan beberapa contoh bentuk penafsiran al-Farra' terhadap ayat-ayat al-Qur'an.

Surat Al-Fatihah 1-7
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (1) الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (2) الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (3) مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (4) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (5) اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ (7)

Dalam surat al-Fatihah ini tidak semua ayat oleh al-Farra' ditafsiri. Beliau hanya memilih beberapa kata yang mungkin perlu untuk dikupas lebih lanjut. Dalam surat ini penafsiran beliau hanya terkonsentrasi pada I'rabnya Alhamdulillah, ghair, dan la pada potongan ayat terakhir surat al-Fatihah (Wala al-Dhallin).

قوله تعالى: {الْحَمْدُ للَّهِ...} اجتمع القرّاء على رفع الحمد. وأمّا أهل البَدْو فمنهم من يقول : "الحمدَ لِلّه". ومنهم من يقول: "الحمدِ لِلّه ". ومنهم من يقول : "الحمدُ لُلّهِ" فيرفع الدال واللام
Menurut al-Farra' pada firman Allah الْحَمْدُ للَّهِ  terdapat 4 macam versi, yaitu :
1.  Pendapat mayoritas ulama ahli qiraat adalah dengan membaca rafa' kata  الْحَمْدُ
2.  Dengan membaca nasab, yakni الحمدَ لِلّه
3.  Dengan membaca khafad, yakni الحمدِ لِلّه
4.  Dengan membaca rafa'  huruf dal dan lam-nya, yakni  الحمدُ لُلّهِ

وقوله تعالى: {غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِم...}
بخفض "غيرِ" لأنها نعت للذين، لا للهاء والميم من "عليهم"
Kata غَيْرِ  dibaca kasrah karena menjadi na'at dari kata الذين  bukan na'at dari Ha dan Mim pada kata  عليهم.

وأما قوله تعالى: {وَلاَ الضَّآلِّينَ...}
فإن معنى "غير" معنى "لا" فلذلك رُدّت عليها "ولا". هذا كما تقول: فلان غير محسن ولا مُجْمِل؛ فإِذا كانت "غير" بمعنى سوى لم يجز أن تُكَرَّ عليها "لا"؛ ألا ترى أنه لا يجوز: عندى سوى عبد الله ولا زيد.

Kata "غير"  dan "لا"  mempunyai makna yang sama yakni bukan. Seperti contoh perkataanmu فلان غير محسن ولا مُجْمِل  (Orang yang tidak baik dan juga tidak tampan). Apabila غير  bermakna سوى  (selain) maka tidak boleh ada pengulangan dengan menggunakan kata .لا




[1] Abdul ‘Abbas berpendapat, “belum pernah seorangpun sebelumnya yang menempu cara seperti ini”. dari pendapat inilah muncul pertanyaan apakah karya al-Farra’ merupakan kitab tafsir sistematis pertama atau bukan. Terlepas dari hal itu al-Farra’ memang berbeda dengan mufasir lainnya, dia secara sengaja hendak membuat sebuah kitab yang lengkap dan sistematis tentang makna kata-kata tertentu dalam al-Quran.

1 komentar: