Studi Kitab Ma’ani al-Quran Karya
Al-Farra’
Oleh : Abdullah Nasir (114211011)
Setiap orang memiliki
sudut pandang yang berbeda mengenai penafsirannya sendiri. Perbedaan penafsiran
dalam banyak hal ditentukan oleh karakter kepribadian, kapasitas intelektual
serta lingkungan mufasirnya. Dengan semakin banyaknya cabang keilmuan sekarang,
maka tidak menutup kemungkinan terjadinya pluralitas penafsiran dan karakternya
menjadi semakin terbuka dengan sendirinya.
Hal itu dapat dilihat
pada akhir abad kedua Hijriah, muncul kitab tafsir yang tersusun secara
sistematis. kitab tersebut ditulis oleh
Yahya ibn Ziyad al-Farra’ dengan kitabnya Ma’ani al-Quran. Dalam
karangannya itu, terdapat perbedaan yang mencolok bila kita membandingan dengan
kitab-kitab yang lain. Ini mengapa, karena paa abad kedua Hijriyah aktifitas
penafsiran lebih banyak berbentuk laporan tentang penafsiran generasi
sebelumnya dibanding sebagai hasil kreativitas mandiri. Berangkat dari hal itu-lah
sekiranya menjadikan kitab Ma’ani al-Quran karya Al-Farra’ sebagai bahan
kajian lantaran keunikannya sebagai karya tafsir yang menyimpang dari mainstrem
zamannya.
Sebelum terjun dalam
karayanya, alangkah baiknya kita mengenal siapa Al-Farra’ itu.
Pada tahun 144
Hijriyah, lahir seorang penafsir asal kota Dailam, Persia yang bernama Abu
Zakariya Yahya Ibn Ziyad Ibn ‘Abdillah Ibn Manzur al-Dailami. Lahir dari
seorang Ibu berkebangsaan Persia sendiri yang merupakan bibi dari Muhammad Ibn
al-Hassan murid dari Abu Hanifah. Ayah al-Farra’ adalah anggota pasukan perang
al-Husain Ibn ‘Ali Ibn Abi Talib Ra yang mempunyai gelar al-Aqta’ dikarenakan
tanganny terputus dalam sebuah peperangan bersama al-Husein. Namun menurut Ibn
Khallikan yang putus tangannya adalah sang kakek, melihat jarak yang terlampu
jauh antara perang al-Husein dengan kelahiran al-Farra’.
Yahya Ibn Ziyad mempunyai
gelar al-Farra’ dikarenakan dia sangat mahir menguasai ungkapan bahasa atau
ahli menganalisi wacana. Hal ini pun didukung dengan lingkungan dia berada.
Dimana tempat kelahiran al-Farra’ –yaitu Kuffah- merupakan kota pelajar, tempat
pengajaran berbagai cabang ilmu dan gudangnya ulama. Dan juga di kota Kuffah
dan basrah –pada abad kedua dan ketiga Hijriyah- menjadi pusat studi filsafat,
Lexiografi dan gramatik sebagai perangkat menstabilkan penggunaan bahasa Arab.
Pada saat inilah muncul produk studi grammar Arab terbesar karya Sibawaih yang
selalu menemani perjalanan intelektual al-Farra’. Namun disamping hal itu,
faktor dalam dirinya-pun membantu dalam perkembangannya. Sifat kondusif untuk
untuk pengembangan karir intelektualnya dan kekuatan daya hafal yang
dimilikinya juga tidak kecil sumbangannya bagi al-Farra’.
Kapasitas intelektual
di bidang bahasa semakin tinggi, hingga menjadikan al-Farra’ tokoh besar Kufah
pasca al-Kissa’i. Menurut Sa’lab, dai menunjukkan peran intelektual yang tidak
kecil daam mengangkat penji studi linguistik, terutama aspek gramatikalnya.
Bahkan dia mengatakan kalau saja tidak ada al-Farra’ tentu bahasa Arab sudah
tidak dapat mempertahankan eksistensinya lagi. Karena al-Farra’-lah yang telah
menyelamatkan dan meluruskannya.
Akhirnya setelah
menjalani kehidupannya kurang lebih 63 tahun dengan pengalam intelektualnya,
al-Farra’ meningal dalam perjalanan pulang dari Makkah pada tahun 207 Hijriyah.
Sejarah
Penulisan Kitab Ma’ani al-Quran
Menurut catatan
sejarah tafsir, kitab ini pada dasarnya hanya pesanan dari seorang muridnya
yang bernama ‘Umar Ibn Bakir yang tidak mampu menjawab pertanyaan gubernur
al-Hassan Ibn Sahl menyangkut persoalan al-Quran. Berangkat dari hal inilah
al-Farra’ mengumpulkan murid-muridnya pada hari tertentu hanya untuk
mendiktekan kitab Ma’ani al-Quran. Namun cara yang ditempuh al-Farra’
bukan melalui konsep naskah terlebih dahulu tetapi secara langsung setelah
dibacakan ayat tertentu oleh salah seorang murid yang ia tunjuk untuk
membacakannya.[1] Diantara sekian banyak murid al-Faraa’, terdapat
satu orang yang memilikiminat lebih dan tingkat intensitas yang lebih tinggi
untut mencatat ceramah al-Faraa’. Orang itu bernama Muhammad Ibn al-Jahm
al-Simarri yang hasil kodifikasiannya atas ceramah al-Farra’ sempat dicek dan
dibaca ulang oleh al-Farra’ sendiri semasa hidupnya. Karena itulah al-Simarri
menjadi perawi kitab Ma’ani al-Quran yang populer bila dibandingkan
dengan perawi lainnya.
Meskipun disusun
secara sistematis berdasarkan sistematika dalam Mushaf, sesuai dengan namanya,
kitab ini tampak hanya meletakkan minat atas unit-unit tertentu dari sebuah
ayat. Itulah mengapa seperti kitab-kitab tafsir abad pertengahan pada umumnya,
kitab ini memberikan kesan sangat atomistik, hanya terkonsentrasi pada pada
unit-unit kecil tertentu tanpa berpretensi untuk mengungkap pesan holistik
al-Quran sebagai kitab hidayah.
Sumber
bahan penafsirannya
“Persoalan
pertama tentang penafsiran atau kupasan tentang I’rab al-Quran adalah
kesepakatan para Qurra’ dan penulis mushaf untuk membuag alif dari kata ism
dalam lafal bismillahirrahmanir rahim. Para Qurra’ tidak membuang alif
dalam lafal fasabbih bismi rabbikal ‘azim (Qs. Al-Waqi’ah [56]: 74)
....”
Jelaslah bahwa posisi
ahli qiraat sebagai bahan penafsirannya sedemikian tinggi. Dalam hal ini, dia
tidak mengorek bagaiman penafsiran Nabi atau generasi pertama seperti yang
dilakukan al-Tabari misalnya. Dia tidak menaruh perhatian dari sumber-sumber
penafsiran dari mufasir terdahulu karena memang dia berbeda orientasi dan
kepentingan dengan mereka. Dengan kata lain, al-Farra’ menggulkan orientasi
pada gramatikal menjadi acuan dasar dalam penafsirannya yang beda dengan dasar
mufair lainnya. Ini bukan berarti bahwa al-Farra’ beda sama sekali dengan
mufasir lain dalam semua hal. Al-Farra’ juga tetap mengacu pada sumber-sumber
lain yang lazim di kalangan mufasir pada umumnya. Hanya saja sumber-sumber lain
ini hanya dirujuk sesekali saja, karena tidak diunggulkan olehnya.
Dalam pandangannya,
mufasir itu berbeda dengan ahli qiraat dalam hal yang menyangkut kepentingannya
sebagai peminat studi gramatikal Arab. Perbedaan itu lebih tampak jelas ketika
al-Farra’ membahas potongan ayat dalam(Qs. 79: 11). Kata al-Nahirah dalam
ayat ini oleh al-Farra’ memberi pernyataan :
“Beberapa qurra’ membacanya dengan pendek pada huruf
na dan qurra’ yang lain membacanya dengan harakat panjang (artinya para qurra’ menganggap sama
konsekuensinya dalam penafsiran sehingga bisa dipakai kedua-duanya). Sedangkan
para mufasir membedakan keduanya .....”
Obyek formal penafsiran
al-Farra’
Dalam al-Quran,
al-Farra’ tidak tertarik untuk menjadikan seluruh ayat menjadi sasaran
penafsirannya. Dia hanya tertarik terhadap problem i’rab dalam beberapa
unit tertentu dalam al-Quran. Itulah mengapa dia hanya tertarik dengan
penggalan ayat-ayat tertentu saja. Mengingat tujuan tersirat al-Farra’ untuk
memberikan uraian pemecahan problem i’rab al-Quran.
Satu hal yang menarik
tentang penafsirannya ini adalah bahwa ada sedikit pergeseran antara terhadap
ayat-ayat dalam surat pertama dalam mushaf dengan surat-surat bagian akhir
mushaf. Untuk surat-surat pertama hanya dia pilih kata atau unit terkecil
tertentu saja, sedang ntuk surat-surat akhri, lebih terkonsentrasi pada
pemaknaan ayat-ayat pada umumnya secara lengkap seperti kasus surat al-‘Adiyat.
Dalam pernyataannya
mengenai ayat 81 surat al-Baqarah, dia tertarik untuk berkomenar tentang
perbedaan fungsi bala dengan fungsi kata jawab na’am.
“Kata bala hanay special sebagai kata jawab
bagi pernyataan atau pertanyaan yang mengandung penyangkalan atau penolakan.
Sedang kaa na’am ditempatkan sebagai kata jawab bagi pertanyaan yang
tidak mengandung penolakan. Kata bala memang memiliki kedudukan yang
sama dengan na’am, hanya saja yang pertama tidak akan digunakan kecuali
ada pengingkaran di awalnya”
Contoh
Penafsiran al-Farra'
Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwasannya
al-Farra' adalah salah seorang ahli linguistik, sehingga tidak heran kalau
produk penafsiran beliau lebih bercorak linguistik. Beliau lebih memfokuskan
penafsirannya untuk mengupas aspek gramatikal al-Quran yang menurut beliau
mungkin akan mempengaruhi terhadap pemaknaan al-Qur'an. Di bawah ini akan kami paparkan beberapa contoh bentuk penafsiran al-Farra'
terhadap ayat-ayat al-Qur'an.
Surat Al-Fatihah 1-7
بِسْمِ اللَّهِ
الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (1) الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (2)
الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (3) مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (4) إِيَّاكَ نَعْبُدُ
وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (5) اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) صِرَاطَ
الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا
الضَّالِّينَ (7)
Dalam surat al-Fatihah ini
tidak semua ayat oleh al-Farra' ditafsiri. Beliau hanya memilih beberapa kata
yang mungkin perlu untuk dikupas lebih lanjut. Dalam surat ini penafsiran
beliau hanya terkonsentrasi pada I'rabnya Alhamdulillah, ghair, dan
la pada potongan ayat terakhir surat al-Fatihah (Wala al-Dhallin).
قوله تعالى: {الْحَمْدُ
للَّهِ...} اجتمع القرّاء على رفع الحمد.
وأمّا أهل البَدْو فمنهم من يقول : "الحمدَ لِلّه". ومنهم من يقول:
"الحمدِ لِلّه ". ومنهم من يقول : "الحمدُ لُلّهِ" فيرفع
الدال واللام
Menurut al-Farra' pada firman Allah الْحَمْدُ للَّهِ terdapat 4 macam versi, yaitu :
1. Pendapat
mayoritas ulama ahli qiraat adalah dengan membaca rafa' kata الْحَمْدُ
2. Dengan
membaca nasab, yakni الحمدَ لِلّه
3. Dengan membaca khafad, yakni
الحمدِ لِلّه
4. Dengan
membaca rafa' huruf dal dan lam-nya, yakni الحمدُ لُلّهِ
وقوله تعالى:
{غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِم...}
بخفض "غيرِ" لأنها نعت للذين، لا للهاء والميم من
"عليهم"
Kata غَيْرِ dibaca kasrah karena menjadi na'at dari
kata الذين bukan na'at dari Ha dan Mim
pada kata عليهم.
وأما قوله تعالى:
{وَلاَ الضَّآلِّينَ...}
فإن معنى
"غير" معنى "لا" فلذلك رُدّت عليها "ولا". هذا كما
تقول: فلان غير محسن ولا مُجْمِل؛ فإِذا كانت "غير" بمعنى سوى لم يجز أن
تُكَرَّ عليها "لا"؛ ألا ترى أنه لا يجوز: عندى سوى عبد الله ولا زيد.
Kata
"غير" dan "لا" mempunyai makna yang sama yakni bukan.
Seperti contoh perkataanmu فلان غير محسن ولا مُجْمِل (Orang
yang tidak baik dan juga tidak tampan). Apabila غير bermakna
سوى (selain)
maka tidak boleh ada pengulangan dengan menggunakan kata .لا
[1] Abdul ‘Abbas berpendapat, “belum pernah seorangpun
sebelumnya yang menempu cara seperti ini”. dari pendapat inilah muncul
pertanyaan apakah karya al-Farra’ merupakan kitab tafsir sistematis pertama
atau bukan. Terlepas dari hal itu al-Farra’ memang berbeda dengan mufasir
lainnya, dia secara sengaja hendak membuat sebuah kitab yang lengkap dan
sistematis tentang makna kata-kata tertentu dalam al-Quran.
Terimakasih. Luar biasa, sangat bermanfaat.
BalasHapus