Selasa, 28 Mei 2013

Resensi Buku Mereka Memalsukan Kitab-Kitab Karya Ulama Salafi

Resensi Buku
Mereka Memalsukan Kitab-Kitab Karya Ulama Salafi
Edisi Kebohongan Publik Sekte Salafi Wahabi
IDENTITAS BUKU
Judul Buku  : Mereka Memalsukan Kitab-Kitab Karya Ulama Klasik
Penulis : Syaikh Idahram
Penerbit : Pustaka Pesantren
Percetakan : PT. LKiS Printing Cemerlang
Cetakan : ke-5
Tahun Terbit  : 2011
Ukuran Buku : 13,5 x 20,5 cm
Tebal  : 308halaman
Editor : Irwansyah
Rancang Sampul : Kang Narto
Harga : Rp. 45.000,00
Peresensi : Abdullah Nasir

            Islam merupakan agama peradaban yang membawa rahmat bagi semesta alam, membawa perubahan-perubahan dinamika dalam kehidupan sosial. Islam datang menawarkan sesuatu yang baru. Islam datang memberikan sikap toleran, moderat, dan akomodatif. Sikap ekstrem dalam hal dan bentuk apapun jelas bukan sesuatu yang membuat kehidupan menjadi senang. Sikap itu hanya menimbulkan dampak negatif dalam kehidupan individu, kelompok, dan masyarakat secara kesuluruhan.
            Salafi Wahabi, istilah yang belakangan ini sering dikaitkan oleh sejumlah kalangan tidak hanya dengan puritanisme, tetapi juga dengan radikalisme. Dan memang aliran ini merupakan saalah satu aliran radikal dalam pemikiran dan gerakan salafi. Aliran yang di dialamnya terdapat sikap paling tidak toleran dalam Islam. Mereka melakukan segala hal untuk membumikan “Islam Murni” yang mereka pandang sebagai Islam yang paling benar. Ini bisa dilihat dengan kekerasan yang dilakukan oleh Muhammad Ibnu Abdul Wahab (Pendiri Salafi Wahabi) kepada penduduk Makkah dan Madinah – setelah menguasai Makkah dan Madinah -. Dia memaksa dan menekankan akan pentingnya bagi kaum muslimin untuk kembali kepada Islam yang murni yang bersih dari bidah. Mereka bahkan berani memalsukan karya-karya ulama klasik yang pada saat itu menjadi dasar pembelajaran tentang Islam. Mereka mengganti kata-kata yang esensinya tidak sesuai dengan paradigma mereka dengan kata-kata yang mereka inginkan.
            Melalui tangan-tangan yang rapi dan terampil, sulit untuk menemukan kitab-kitab yang telah mereka palsukan. Ajaran-ajaran yang pada hakikatnya diyakini oleh banyak kalangan akan kebenarannya jika ajaran itu berbeda dengan ajaran dari mereka, mereka akan membakar dan memalsukannya dengan ajaran yang sesuai dengan ajaran mereka sendiri. Mereka juga senang mengkafirkan orang-orang yang berada di luar jalan aliran dan keyakinannya. Padahal Raulullah SAW sudah memberi peringatan akan hal ini, “Siapa pun yang mengkafirkan saudaranya tanpa penjelasan yang nyata, maka dia sendiri yang kafir”. Mereka mengklaim bahwa mereka adalah satu-satunya aliran yang akan selamat. Mereka menganggap hanya aliran mereka-lah yang mengamalkan ajaran sunnah, sedangkan yang lain adalah ahlul bid’ah dan sesat. Sikap fanatik, taklid buta, dan terlalu melebihkan-lebihkan ulamanya menjadi kegemaran tersendiri bagi mereka. Mereka senang memberikan gelar kepada ulama mereka yang sebenarnya gelar tersebut tidak sesuai dengan keilmuan yang ulama tersebut miliki. Mereka seakan memerangi dan mencacimaki muslim dan merangkul non muslim. Karena mereka hanya memerangi dan menindas saudara sendiri yang tidak berada dalam satu aliran dengan mereka. Sungguh kejam apa yang telah mereka lakukan selama ini.
            Buku “Mereka Memalsukan Kitab-Kitab Klasik” karya Syaikh Idahram ini membahas tuntas dan jelas bagaimana kesesatan dan keborokan yang terdapat dalam aliran Salafi Wahabi,  bagaimana mereka memalsukan kitab-kitab karya ulama kasik, bagaimana sikap mereka terhadap muslim maupun non muslim yang dinilai tidak ada ketidakadilan di dalamnya, bagaimana mereka menyombongkan diri mereka sendiri dengan ajakan mereka menuju Islam Murni. Penulis mengajak pembaca untuk lebih berhati-hati terhada aliran Salafi Wahabi ini, dari segi kitab-kitab yang telah mereka palsukan dan ajaran-ajaran yang terkesan radikal dan sesat. Dengan kelihaian sang penulis, buku ini mampu membuat pembaca merasa merinding dan seolah ikut andil dalam naskah. Penulisan yang apik dan rapi membuat buku ini menjadi indah dan enak dibaca. Buku yang sangat dahsyat dan mencekram, memuat informasi yang penting dengan kupasan yang akurat dan ilmiah. Namun sayang, begitu runtutnya isi penjabaran dalam buku ini membuat pembaca merasa jenuh karena esensi yang dibaca tetap sama. Perlu adanya daya kreatif untuk meruntutkan hal-hal yang mampu membuat pembaca tidak merasa jenuh dan bosan.


Teologi Islam Dalam Menghadapi Tantangan Kemiskinan di Indonesia

 Teologi Islam
Dalam Menghadapi Tantangan Kemiskinan di Indonesia[1]
Oleh : Abdullah Nasir*
* Mahasiswa Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadits IAIN Walisongo Semarang.
Abstrak
Masalah kemiskinan di Indonesia seakan-seakan menjadi virus tersendiri dalam kehidupan. Sedikit demi sedikit kemiskinan semakin meluas dan mengancam akan kelangsungan hidup masyarakat Indonesia yang bahagia. Hal yang seperti ini akan berbahaya jika tetap dibiarkan tanpa adanya tindakan yang tanggap, sigap,  sesuai dan mampu menjawab masalah tersebut. Perlu penorobasan baru untuk mengatasinya mengingat tindakan yang diambil oleh pemerintah Indonesia tidak mampu mengatasi masalah tersebut, bahkan menjadikan masalah itu sebagai identitas Indonesia. Islam datang dengan membawa nuansa damai dan memberikan beberapa penawaran metode dalam mengatasi maslah kemiskinan di Indonesia. Penawaran metode yang praktis tetapi mampu mengatasi masalah tersebut. Dalam Islam, terdapat pemahaman yang bersifat transformatif yang menginginkan transformasi terhadap struktur lewat penciptaan relasi secara fundamental yang baru dan lebih adil dalam bidang ekonomi, politik, dan kultur. Ini merupakan proses panjang untuk mewujudkan kehidupan ekonomi yang tidak eksploitatif, politik tanpa penindasan, kultur tanpa dominasi dan hegemoni serta penghormatan HAM.
A.     Latar Belakang
Problem kemiskinan yang terjadi di Indonesia dewasa ini kian merajalela. Lebih dari setengah dari penduduk Indonesia berada pada tingkat bawah garis merah (kemiskinan). Kemiskinan ini terjadi disebabkan oleh penduduk Indonesia itu sendiri dan menjadi sebuah virus tersendiri bagi Indonesia. Indonesia yang dikatakan mempunyai tanah yang subur, kaya akan sumber alamnya, namun, hal itu tampak menjadi bahan ucapan jika melihat keadaan yang sebenarnya. Keadaan inilah yang seharusnya menjadi topik utama dalam perhatian pemerintah bukan kondisi para artis papan atas Indonesia dan kondisi pengusaha sukses Indonesia. Hal inilah yang mengakibatkan secara berangsur kemiskinan yang terjadi di Indonesia sulit teratasi dan bisa dikatakan menjadi identitas tersendiri bagi Indonesia.
Setiap sesuatu pasti mempunyai dampak negatif dan positif. Seperti halnya dampak dari modernisasi dan globalisasi. Khusunya di Indonesia, kaum minoritas di sana dianggap sebagai “orang-orang yang tersisih” dari perubahan yang terjadi. Dan itu juga terjadi pada sebagian kaum mayoritas. Mereka yang lemah yakni rentan ekonomi dan politik, lemah harkat dari kemanusiaannya. Hal ini seperti adanya sistem “hukum rimba” - yang kuat yang menjadi berkuasa-. Proses globalisasi yang terjadi dewasa ini memiliki pengaruh besar bagi perkembangan nilai agama. Keadaan ini mendapatkan sorotan yang beragam dari kalangan pemikir dan aktivis agama. Agama sebagai pandangan yang terdiri doktrin dan nilai, memberikan pengaruh besar pada kehidpuan masyarakat. Hal ini dibenarkan oleh para pemikir, diantaranya, Robert N. Bellah dan Jose Casanova, mereka membenarkan pentingnya peranan agama dalam kehidupan sosial politik masyarakat dunia.
Agama mempunyai peranan yang penting dan menjadi sebuah bagian tersendiri dalam kehidupan masyarakat. Hal itu mencakup dalam kehidupan sosial, politik, dan pribadi masyarakat itu sendiri. Agama sebagai sebuah ikatan satu dengan yang lain yang harus dipegang dan dipatuhi, karena hal itu akan membawa kebahagian dan keharmonisan bagi kehidupan masyarakat. Agama mampu menjawab masalah yang sedang melanda masyarakat. Dari masalah keluarga, sosial, dan politik.
Bagaimana Islam berbicara tetang kemiskinan, khususnya di Indonesia?
Hal inilah yang menjadi sebab tersendiri bagi penulis untuk membahas lebih lanjut dan detail mengenai persoalan tersebut yang akan dibahas dalam makalah ini. Penulis ingin mengenalkan apa itu islam, dan bagaimana Islam mengatasi dan menjawab persoalan yang sedang dirasakan masyarakat Indonesia yaitu kemiskinan.
B.     Teologi Islam Menjawab Kemiskinan
Agama seringkali menjadi tumpuan umat islam dalam menghadapi problem kehidupan. Menjadi tempat keluh kesah, pelipur lara dan lain-lain. Seakan-akan agama hanya dianggap sebagai wadah saja, tanpa adanya pandangan lain yang menyebutkan agama membantu dalam mewujudkan keshalehan sosial dalam kehidupan ini. Pandangan seperti inilah yang menyebabkan kemunduran dalam umat itu sendiri. Kurang memahami apa itu agama, bagaimana penerapannya dalam kehidupan ini. Maka dari itu, perlu adanya penekenan dalam memberikan pengertian mendalam tentang agama dan penerapannya dalam kehidupan ini.
Agama merupakan  sebuah identitas masyarakat dalam bersosial. Seua hal ihwal mengenai etika masyarakat semua berdasarkan agama. Dalam negara Indonesia, terdapat 5 agama yang disahkan oleh pemerintah, yaitu, Islam, Kristen, Katolik, Budha, dan Hindhu. Dari semua itu, mempunyai jalan dan identitas yang yang berbeda, namun tetap dalam satu jalur tujuan, yaitu mewujudkan kebaikan, dari arah sosial, politik, ekonomi, dan pribadi (akhlak) diri sendiri. Dalam ranah sosial, agama menjadi alat yang canggih dan menjadi sebuah agen yang secara aktif melakukan perubahan terhadap tatanan sosial masyarakat yang telah usang.  Agama harus bisa menjadi senjata yang dapat mempertahankan hak khusus dan kekuasan “kasta yang tinggi”[2].
Mayoritas masyarakat Indonesia beridentitas Islam. Sehingga banyak nilai-nilai Islam yang tersebar dan menjadi prinsip kehidupan masuarakat. Islam dijadikan tameng untuk menjawab persoalan-persoalan yang ada. Islam yang masuk di Indonesia pada abad 6 H. mampu menyulap tatanan sosial msasyarakat. Dari etika berbicara, berhubungan dengan yang lain, sampai hal-hal yang bersifat rahasia. Namun beberapa ilmuwan hanya mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan metafisika yang abstrak, sehingga mereka berada pada lingkungan yang tidak menyentuh sedikitpun tentang masalah eksistensial kemanusiaan maupun kepastian nasib manusia. Bagi mereka agama hanya menjadi latihan intlektual murni, tidak menjadi sebuah kode etik dan aturan moral yang dinamis yang mampu menjadi sebuah prinsip hidup pemeluknya untuk mengarahkan kehidupan spiritualnya ke arah kehidupan yang lebih bermakana, tidak menjadi menjadi rangkaian ibadah yang kering dan doktrin yang abstrak dan metafisis yang sulit dipahami.[3]
Masalah sosial ini sangat mengganggu stabilitas kehidupan masyarakat, terutama masalaha kemiskinan. Masalah kemisikinan yang merajalela di Indonesia seakan-akan dibiarkan tanpa adanya penanganan yang serius. Ini dapat dibuktikan dengan naiknya angka kemiskinan di Indonesia ini. Tidak diketahui bagaimana mengatasi problem kemiskinan yang terjadi. Dari tatanan sosial yang sudah dibentuk oleh pemerintah, tidak mampu menjwab persoalan -kemiskinan- yang ada. Menurut hemat penulis, ini disebabkan karena tidak adanya penyatuan dan penerapan telogi Islam - agama yang menjadi mayoritas di Indonesia -. Dari pemerintah terlaru mengandakan naluri mereka untuk menjawab persoalan yang ada. Maka dari itu, sangatlah baik jika tatanan sosial dibentuk dengan metode yang Islam tawarkan. Metode yang praktis tetapi mampu membawa perubahan tatanan sosial ke arag yang lebih baik. Dalam Islam, terdapat sistem penghematan ekonomi dan pemenuhan kebutuhan  hidup. Umat islam diharuskan mampu mejadikan sistem tersebut sebagai jalan untuk mendapatkan kehidupan sosial dan ekonomi yang baik, sehingga rotasi kehidupan umat islam sendiri akan membaik dan akan mengakibatkan menurunnya nilai kemiskinan dalam umat islam.
Ketika berbicara tentang kemiskinan dan Islam, akan lebih menarik jika pembicaraan tesebut dilakukan dengan pendekatan yang dipakai al-Quran dalam membahas masalah tersebut. Seperti yang dikatakan oleh Asghar Ali Enginer dalam bukunya “islam dan teologi Pembebasna” :
“Agar diskusi mengenai islam dan tantang kemiskinan ini lebih menarik, maka perlu memahami pendekatan yang dipakai Al-Qur’an dalam membahas masalah-masalah tertentu yang berkaitan dengan tema tersebut. Nabi-nabi yang disebutkan di dalam Al-Qur’an, sebagaimana sebagaimana dikemukakan oleh seorang pemikir Islam Iran, Ali Shari’ati, berasal dari kalangan masyarakat biasa, bukan bagian dari kelompok kemapanan atau pemimpin yang berkuasa (kecuali Nabi Daud dan Sulaiman). Kita Suci Al-Qur’an dengan jelas menyebutkan, “Dialah yang mengutus di antara orang yang buta huruf seorang rasul dari kalangan mereka sendiri” (62:2). Jelaslah, Al-Qur’an menyatakan bahwa Tuhan mengustus nabi-nabi-Nya kepada manusia itu sendiri. Nabi-nabi itu berdiri di tengah-tegah kalangan masyarakat dan tidak pernah mengidentifikasi diri dengan penguasa atau dengan kelas yang berkuasa (mala)”
Jelaslah dari metode yang berikan Islam –merujuk pada isi pendapat di atas- dapat membuat perubahan pada tatanan sosila, seperti pengutusan Nabi Muhammad yang mampu menyulap kehidupan masyarakat arab yang tidak bermoral menjadi masyarak yang bermoral dalam kancah Internasional. Hal itu juga dapat dijadikan kiasan bahwa ketertindasan dan kemiskinan bukanlah merupakan takdir  tapi merupakan “ihwal sebab-akibat”. Nabi-nabi yang awalnya merupakan orang-orang yang tertindas mampu menjadi orang yang kuat asal dia bekerja keras, berdo’a dan sungguh-sungguh. Ketertindasan dan kemiskinan yang berada pada masyarakat harus diyakini bahwa itu semua tidaklah abadi. Dan bukan merupakan takdir Tuhan bahwa kita akan tertindas secara terus menerus. Secara tidak langsung, Tuhan, melaui nabinya, menginginkan manusia menjadi makhluk yang aktif. Aktif dalam menjadikan jiwanya menjadi jiwa yang besar sehingga persoalaan yang akan menimpa dengan mudah mampu ditangani.
Tawaran metode yang diberikan Islam hanya menjadi bahan pemikiran belaka, tidak ada penanganan lebih lanjut mengenai hal itu. Ini disebabkan karena adanya modernisasi yang memberi dampak negatif pada etika dan pemikiran masyarakat, meskipun dia juga memberikan dampak yang positif juga terhadap kemajuan masyarakat Indonesia. Kemewahan dan kesenangan yang diberikan oleh modernisasi memunculkan perasaan jenuh dan malas dalam mempelajari Islam dan penerapanya dalam kehidupan ini. Islam sering dijadikan kambing hitam terhadap masalah-masalah yang ada. Keadaan inilah yang membuat pemeluk Islam Indonesia mayoritas berada dalam garis kemiskinan. Mereka tidak mampu melakukan dan menerapkan metode yang diberikan Islam. Mereka merasa Islam hanya sebatas agama dan tidak terdapat nilai yang mampu direalisasikan pada realitas kehidupan. 
Menurut pemahaman modernis - pemahaman yang bersifat rasional dan lawan dari pemahaman tradisionalis -  ini percaya bahwa masalah yang dihadapi kaum tertindas dan miskin, yang pada dasarnya masalah tersebut berakar pada persoalan “karena ada yang salah dari sikap mental, budaya, ataupun teologi mereka”[4]. Namun, pendapat ini jauh berbeda dengan pemahaman tradisionalis yang mengatakan bahwa kemiskinan dan ketertindasan adalah ketentuan dan rencana Tuhan[5]. Hal itu juga berbeda dengan apa yang dikemukakan dalam pemahaman revivalis. Mereka berpendapat bahwa terdapat faktor internal dan eksternal yang menjadi persoalan kemiskinan dan ketertindasan. Bagi mereka, masalah itu disebabkan karena semakin banyaknya kaum tertindas terutama umat Islam Indonesia yang justru memakai ajaran atau isme lain sebagai dasar pijakan dari pada menggunakan al-Quran sebagai acuan dasar dan prinsip pada kehidupan mereka. Pandangan ini berangkat dari keyakinan bahwa al-Quran pada hakikatnya telah menyediakan petunjuk secara komplit, jelas, dan sempurna sebagai fondasi dalam kehidupan masyarakat dan negara. Selain itu, mereka menganggap keberedaan isme lain membawa ancaman bagi umat Islam khususnya Indonesia[6]. Dari pemahaman-pemahaman tersebut, penulis merasa tidak ada yang sesuai jika kita melihat kondisi para pemeluk Islam Indonesia dewasa ini. Penulis lebih sepakat dengan pemahaman transformatif yang mengatakan bahwa ketertindasan dan kemiskinan disebabkan oleh adanya sistem dan struktur ekonomi, politik, dan kultur yang tidak adil dan hanya memberi keuntungan pada sebagian kecil manusia. Mereka menginginkan penerobosan baru dengan melakukan transformasi terhadap struktur lewat penciptaan relasi secara fundamental yang baru dan lebih adil dalam bidang ekonomi, politik, dan kultur. Ini merupakan proses panjang untuk mewujudkan kehidupan ekonomi yang tidak eksploitatif, politik tanpa penindasan, kultur tanpa dominasi dan hegemoni serta penghormatan HAM. Keadilan adalah prinsip fundamental dari pemahaman ini[7]. Pemahaman seperti ini sesuai dengan apa yang Islam inginkan.
Pemahaman transformatif  ini berada dan membela golongan masyarakat yang tertindas dan miskin. Dan juga dengan jelas dan tanpa ragu-ragu al-Quran berdiri dipihak golongan masyarakat lemah dalam menghadapi para penindas. Al-Quran menyesalkan, bahkan menegur orang-orang  tidak mau menolong mereka yang teraniaya.[8] Seakan-akan al-Quran membenci akan adanya kemiskinan dan ketertindasan, karena al-Quran menginginkan kesamaan dan kesetaraan dalam kehidupan.Begitu pula dengan Nabi Muhammad yang membenci kemiskinan dan kelaparan. Ada banyak hadis yang membuktikan kebenaran pernyataan tersebut. Hadis yang diriwayatkan oleh Nissi berbunyi, “Ya tuhan, aku berlindung kepada-Mu dari kemiskinan, kekurangan dan kehinaan, dan aku berlindung kepada-Mu dari keadaan teraniaya dan perilaku aniaya terhadap orang lain”.[9] Dalam hadits ini, hal yang patut dicermati adalah setelah mereka kaum lemah bebas dari ketertindasan, mereka tetap memifikirkan kaum yang tertindas yang lain. Dilihat dari mereka yang telah lepas dari ketertindasan tetap meminta perlindungan dari keadaan penganiayaan dan keadaan yang menyebabkan mereka sebagai seorang penindas. Dalam ibarat meminta perlindungan dari sifat “lupa daratan”.
C.     Kesimpulan
Dari beberapa pemhasan diatas, kita dapat menarik beberapa hal sebagai berikut;
1.      Pada dasarnya Al Qur’an memihak kepada orang yang lemah terutama ketika ia ditindas oleh orang-orang mustakbirin, para penguasa yang sombong.
2.      Sejarah kenabian dalam islam dapat dijadikan sebagai inspirasi dan pegangan bahwasanya ketertindasan itu memang harus dilawan.
3.      Perlunya penyuluhan teologi baru bagi fakir miskin yang tertindas. Teologi yang lama hanya telah menjadikan mereka tidak bertindak aktif dalam menghidari kemiskinan dan ketertindasan.
4.      Sebagai cendikiawan dan orang-prang islam yang faham realitas ini, maka perlunya memberikan pemahaman baru kepada mereka.

Daftar Pustaka
Engineer, Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000).
Tasmin, Teologi Kaum Tertindas, (Kediri: STAIN Kediri Press, 2009).




[1] Dikumpulkan guna memenuhi tugas Ujian Tengah Semester (UTS) mata kulilah Bahasa Indonesia, pada tanggal, 04 Desember 2012
[2] Asghar Ali Engineer, Islam Dan Teologi Pembebasan, (Pustaka Pelajar:Yogyakarta, 2000), h. 89.
[3] Ibid., h.88.
[4] Tasmin, Teologi Kaum Tertindas, (STAIN Kediri Press:Kediri, 2009), h. 115.
[5] Ibid., h.114.
[6] Ibid., h.117.
[7] Ibid., h.119.
[8] Asghar Ali Engineer, Islam Dan Teologi Pembebasan, (Pustaka Pelajar:Yogyakarta, 2000), h. 92.
[9] Ibid., h.99.

Orientalis Belanda : Christiaan Snouck Hurgronje

Christiaan Snouck Hurgronje[1]
Zaimul Asroor
Zainal Abidin
Abdullah Nasir[2]

Abstrak
                    Strategi yang matang dan tepat sasaran adalah senjata yang jitu jika ingin menjadi diri sebagai seorang pemenang dalam perlawanan. Hal ini telah dilakukan Belandan dalam melawan perlawanan dari umat Islam Aceh pada saat itu. Dengan strategi yang matang mereka mampu melawan perlawanan yang ada. Yang memang perlawanan itu sangatlah sulit diatasi sehingga mengharuskan bagi orang Belanda untuk memeras otak mereka untuk menciptakan strategi yang tepat untuk melawan perlawanan tersebut.
                    Christiaan Snouck Hurgronje. Seorang tokoh orientais Belanda - yang lahir di Tholen, Oosterhout, 8 Februari 1857 – meninggal di Leiden, 26 Juni 1936 pada umur 79 tahun – yang mampu menjadi tongkat awal keberhasilan Belanda dalam  melawan perlawan yang ada. Dengan teori dikotomisasi antara politik dan agama, mampu melemahkan kekuatan umat Islam Aceh.

Kata Kunci : Biografi Snouck, Pemikiran, dan Gerakan di Aceh
I.                   Latar Belakang
Pada era Belanda menjajah Nusantara, banyak kesulitan yang dialami mereka. Yang paling menonjol adalah apa yang terjadi di Aceh. Dengan perlawanan yang kupat terhadap Belanada, sehingga mengharuskan Belanda untuk berpikir keras dengan taktik yang matang untuk melawan dan memporak-porandakan mereka. Karena pada saat kekuatan Aceh sangat di dominasi dengan penyatuan antara politik yang ada dengan agama mereka. Sehingga menjadikan Belanda harus mampu memisahkan antara politik dan agama, yang dianggapnya agama adalah  milik individu. Itu hanyalah sebuah metode. Sedangkan Belanda tidak paham mengenai ajaran agama (baca : Islam) mereka. Maka dari itu, Belanda mensiasati untuk menjadikan seorang utusan untuk belajar agam Islam. Dialah Snouck Hurgronje. Dengan sifat kemunifakannya yang penuh tipu daya muslihat yang pada akhirnya dia mampu mempengaruhi umat Islam di Aceh yang menjadikan corak pemikiran umat Islam terpengaruh dengan corak pemikiran orang barat dengan taktik dari Snouck yang sangat jitu dan tepat.
Berangkat dari kegelisahan ini penulis ingin mengajak – dengan adanya makalah ini - kepada pembaca untuk berhati-hati terhadap lingkungan kita. Tidak bisa dipungkiri bahwa kejadian seperti itu akan statis sampai di situ saja. Melainkan akan terus berkelanjutan terjadi.

II.                Biografi Snouck Hurgronje
Christiaan Snouck Hurgronje (lahir di Tholen, Oosterhout, 8 Februari 1857 – meninggal di Leiden, 26 Juni 1936 pada umur 79 tahun) adalah orientalis Belanda. Seperti ayah, kakek, dan kakek buyutnya yang betah menjadi pendeta Protestan, Snouck pun sedari kecil sudah diarahkan pada bidang teologi. Tamat sekolah menengah, dia melanjutkan ke Universitas Leiden untuk mata kuliah Ilmu Teologi dan Sastra Arab, 1875. Lima tahun kemudian, dia tamat dengan predikat cum laude dengan disertasi Het Mekaansche Feest (Perayaan di Makkah). Tak cukup bangga dengan kemampuan bahasa Arabnya, Snouck kemudian melanjutkan pendidiklan ke Mekkah, 1884. Di Mekkah, keramahannya dan naluri intelektualnya membuat para ulama tak segan membimbingnya. Dan untuk merebut hati ulama Mekkah, Snouck memeluk Islam dan berganti nama menjadi Abdul Ghaffar.
Namun, pertemuan Snouck dengan Habib Abdurrahman Azh-Zhahir - seorang keturunan Arab yang pernah menjadi wakil pemerintahan Aceh, kemudian "dibeli" Belanda dan dikirim ke Mekkah -  mengubah minatnya. Atas bantuan Zahir dan Konsul Belanda di Jeddah JA. Kruyt, dia mulai mempelajari politik kolonial dan upaya untuk memenangi pertempuran di Aceh. Sayang, saran-saran Habib Zahir tak ditanggapi Gubernur Belanda di Nusantara. Karena kecewa, semua naskah penelitian itu Zahir serahkan pada Snouck yang saat itu, 1886, telah menjadi dosen di Leiden.
Snouck seperti mendapat durian runtuh. Naskah itu dia berikan pada kantor Menteri Daerah Jajahan Belanda. Snouck bahkan secara berani menawarkan diri sebagai tenaga ilmuwan yang akan dapat memberikan gambaran lebih lengkap tentang Aceh.
Pada 1889, dia menginjakkan kaki di Pulau Jawa, dan mulai meneliti pranata Islam di masyarakat pribumi Hindia-Belanda, khususnya Aceh. Setelah Aceh dikuasai Belanda, 1905, Snouck mendapat penghargaan yang luar biasa. Setahun kemudian dia kembali ke Leiden, dan sampai wafatnya,26 Juni 1936, dia tetap menjadi penasihat utama Belanda untuk urusan penaklukan pribumi di Nusantara. Sosok Snouck memang penuh warna,
1.      Bagi Belanda, dia adalah pahlawan yang berhasil memetakan struktur perlawanan rakyat Aceh.
2.      Bagi kaum orientalis, dia sarjana yang berhasil.
3.      Tapi bagi rakyat Aceh, dia adalah pengkhianat tanpa tanding. Namun, penelitian terbaru menunjukkan peran Snouck sebagai orientalis ternyata hanya kedok untuk menyusup dalam kekuatan rakyat Aceh. Dia dinilai memanipulasi tugas keilmuan untuk kepentingan politik.
Selain tugas memata-matai Aceh, Snouck juga terlibat sebagai peletak dasar segala kebijakan kolonial Belanda menyangkut kepentingan umat Islam. Atas sarannya, Belanda mencoba memikat ulama untuk tak menentang dengan melibatkan massa. Tak heran, setelah Aceh, Snouck pun memberi masukan bagaimana menguasai beberapa bagian Jawa dengan memanjakan ulama.
Demikianlah sosok Snouck Hurgronje yang dianggap sosok kontroversial khususnya bagi kaum muslimin Indonesia, terutama kaum muslimin Aceh.[3]

III.             Tokoh yang mempengaruhinya
Ds. J. Scharp (1756-1829), buyut (ayah kakeknya) dari pihak ibu, bisa dikatakan sebagai salah satu yang sangat mempengaruhi perkembangan pemikiran Christiaan Snouck Hurgronje. Ds. J. Scharp, seorang orator ulung Rotterdam di zamannya. Pada 1824 berhasil menyelesaikan buku pelajaran Islam Korte schets over Mohammed en de Mohammadanen dan Hendleiding voor de kwekelingen van het Nederlandsche Zendelinggenootschap, atau Sketsa Singkat tentang Muhammad dan Kaum Muslimin. Buku Pegangan bagi Para Siswa Perhimpunan Pengabar Injil Belanda. Buku ini menguraikan kelemahan ajaran Islam, disertai trik-trik melumpuhkan ajaran Islam. Selain karena pendidikan modern yang diperoleh di Leiden, pelajaran dari Ds. J. Scharp bisa dianggap sangat mempengaruhi pola pemikiran Christiaan Snouck Hurgronje sebagai orientalis kolonial di kemudian hari.
Abraham Kuenen, salah satu modernis Leiden yang dikenal sebagai ahli Perjanjian Lama, telah memberikan pelajaran kritik biblik atau kritik atas Kitab Suci kepada Christiaan Snouck Hurgronje. Kritik biblik yang menggunakan metode rasional menghasilkan pemikiran kontroversial dan kadang sangat bertentangan dengan ajaran agama yang dianut di kala itu. Akibat perjumpaan-perjumpaan dengan kaum modernis Lieden Christiaan Snouck Hurgronje menjadi salah satu pengikut fanatik rasionalisme Leiden. Ciri-cirinya adalah penolakan terhadap sesuatu yang irasional. Trinitas dan posisi Yesus sebagai anak Allah dalam ajaran Kristen (Katholik) ditolaknya karena dianggap bagian ajaran agama yang tak masuk akal.[4]

IV.              Karya-karyanya
Karya ilmiah Snouck terbagi dalam dua jenis, yaitu karya dalam bentuk buku dan dalam bentuk makalah-makalah kecil. Di antara hasil karya besarnya ialah , tulisannya tentang kota makah, terdiri atas dua bagian, bagian pertama terbit di kota Den Hag pada tahun 1888 dan bagian kedua juga terbit di kota yang sama pada tahun 1889. Kemudian karyanya yang berjudul De Atjehers, dalam dua bagian, terbit di Batavia dan Leiden dan Daerah Gayo dan Penduduknya. Bagian kedua dari buku Makah, dan bagian pertama dan kedua dari buku De Atjehers, Sudah diterjemahkan kedalam bahasa Inggris. Buku tersebut memuat laporan ilmiah tentang karakteristik masyarakat Aceh dan buku ini diterbitkan. Tapi pada saat yang sama, ia juga menulis laporan untuk pemerintah Belanda berjudul "Kejahatan Aceh." Buku ini memuat alasan-alasan memerangi rakyat Aceh.
Karya-karyanya dalam bentuk makalah adalah “Munculnya Islam”, Perkembangan Agama Islam”, “Perkembangan Politik Islam”, dan “Islam dan Pemikiran Modern”. Semua makalah itu telah dikumpulkan oleh muridnya, A.J. Wensinck, dengan judul Bunga rampai dari Tulisan Christian Snouck Hurgronje,dalam enam jilid, jilid keempat terdiri atas empat bagian. Sistematika kumpulan tulisan itu adalah sebagai berikut; jilid pertama tentang Islam dan sejarahnya, jilid kedua tentang syariat Islam, jilid ketiga tentang Jazirah Arab dan Turki, jilid keempat tentang Islam di Indonesia, jilid kelima tentang bahasa dan sastra, dan jilid keenam tentang kritik buku, dan tulisan-tulisan lain dan daftar indeks, serta rujukan-rujukan.[5]

V.                 Gerakan Snouck Hurgronje Dalam Memecah Belah Islam di Aceh
Sebelum kita membahas mengenai gerakan dan pemikiran Snouck dalam memecah belah Islam, ada baiknya kita singgung mengenai maksud dan tujuan kaum orientalis dan kepentingan-kepentingan mereka dalam menjalankan misinya ke ranah dunia Islam. Berawal dari kekalahan perang Salib yang menyebabkan kaum Yahudi dan Nasrani terpukul karena kalah melawan kaum Muslim. Dan karena merasa tidak kuat dalam menghadapi umat Islam, mereka terpaksa menahan diri untuk berperang walaupun sebenarnya dalam hati mereka ingin sekali memerangi kaum muslim.
Pada awal abad 19 M, ketika negara-negara Eropa telah tumbuh dan berkembang perekonomiannya, serta kuat pertahanannya, sementara kaum muslim pada waktu dinilai semakin lengah dan lamban sehingga umat Islam jauh tertinggal dari umat Yahudi dan Nasrani. Momen ini dimanfaatkan oleh Yahudi dan Nasrani yang mempunyai dendam lama untuk membalaskan dendam pada kaum muslim. Namun mereka tidak lagi menggunakan kekuatan fisik untuk menyerang, mereka mengubah siasat menjadi imaji-imaji dan penyelidikan reguler mengenai dunia ketimuran (orientalis). Ditambah lagi ketika gereja memberi peluang untuk mengkaji dunia ketimuran, bahkan kaum kolonialis dan imperialis yang memperoleh keberhasilan tak lepas juga dari siasat ini. Snouck Hurgronje yang akan kita bicarakan ini termasuk golongan orientalis yang mempunyai motif imperilais.
Sejarah memperlihatkan bahwa perlawanan rakyat Aceh terhadap penjajah Belanda merupakan salah satu perlawanan tersengit dari umat Islam Indonesia terhadap kaum kuffar Belanda. Perlawanan rakyat Aceh bukan perlawanan yang dilandasi pemikiran sempit nasionalisme. Perlawanan mereka adalah perlawanan ideologis dan aqidah antara umat Islam yang terjajah dan kaum kafir penjajah Belanda. Setelah ditelusuri, pemikiran ini dibawa oleh para ulama dan tokoh Aceh yang pulang dari Makkah setelah melakukan ibadah Haji. Seruan jihad datang dari tanah suci Makkah yang saat itu berada dibawah kekuasaan Khilafah Turki Utsmani.
Fenomena ini dipahami dengan jelas oleh Snouck Hurgronje. Setelah melakukan pengamatan terhadap fakta Perang Aceh dari perbincangan orang-orang Aceh yang berziarah ke Makkah, Snouck berinisiatif menawarkan bantuan kepada pemerintah Belanda untuk membantu mematikan semangat perlawanan rakyat Aceh.
Selama tujuh bulan Snouck berada di Aceh, sejak 8 Juli 1891. Baru pada 23 Mei 1892, Snouck mengajukan Atjeh Verslag, laporannya kepada pemerintah Belanda tentang pendahuluan budaya dan keagamaan, dalam lingkup nasehat strategi kemiliteran Snouck. Sebagian besar Atjeh Verslag kemudian diterbitkan dalam De Atjeher dalam dua jilid yang terbit 1893 dan 1894. Dalam Atjeh Verslag-lah pertama disampaikan agar kotak kekuasaan di Aceh dipecah-pecah. Di Aceh, Snouck mendekati ulama untuk bisa memberi fatwa agama. Ini bisa dilakukan karena Snouck dianggap seorang muslim dan memiliki ilmu keagamaan yang cukup mumpuni. Tapi fatwa-fatwa itu berdasarkan politik devide et impera. Ia berkhutbah untuk menjauhkan agama dan politik.
Berdasarkan konsep Snouck, pemerintah kolonial Belanda dapat mengakhiri perlawanan rakyat Aceh dan meredam munculnya pergolakan-pergolakan di Hindia Belanda yang dipelopori oleh umat Islam. Pemikiran Snouck -berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya- menjadi landasan dasar doktrin bahwa “musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai Agama, melainkan Islam sebagai Doktrin Politik”.
Konsep Snouck berlandaskan fakta masyarakat Islam tidak mempunyai organisasi yang “Tersusun” dan “Universal”. Disamping itu kerana tidak ada lapisan “Pemutus Hukum” atau kependetaan seperti pada masyarakat Katolik, maka para ulama Islam tidak berfungsi dan berperanan seperti pendeta dalam agama Katolik yang pada ketika itu menerima kata putus daripada para pendeta.
Tidak semua orang Islam harus diposisikan sebagai musuh, kerana tidak semua orang Islam Indonesia merupakan orang fanatik dan memusuhi pemerintah “kafir” Belanda. Bahkan para ulamanya pun jika selama kegiatan Ubudiyah mereka tidak diusik, maka para ulama itu tidak akan menggerakkan umatnya untuk memberontak terhadap pemerintah kolonial Belanda. Namun disisi lain, Snouck menemukan fakta bahwa agama Islam mempunyai potensi menguasai seluruh kehidupan umatnya, baik dalam segi sosial maupun politik.

VI.              Tiga Formulasi Snouck Tentang Permasalahan Islam
Dengan adanya kondisi diatas, Snouck melakukan dikotomisasi terhadap terhadap islam, yaitu agama sebagai “Ibadah ritual” dan agama sebagai kekuatan sosial politik. Yang kedua inilah yang menurutnya sebagai musuh kolonialisme Belanda.[6] Selanjutnya Snouck memformulasikan dan mengkategorikan permasalahan Islam menjadi tiga bagian, yaitu bidang agama murni, bidang sosial kemasyarakatan dan bidang politik. Ini juga yang dikenal dengan Islam Politiek, yakni kebijakan pemerintah Belanda dalam menangani permsalahan Islam di Hindia Belanda.
1.      Dalam bidang agama murni dan ibadah, sepanjang tidak mengganggu kekuasaan, maka pemerintah kolonial memberikan kemerdekaan kepada umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya. Pemerintah harus memperlihatkan sikap seolah-olah memperhatikan agama Islam dengan memperbaiki tempat peribadatan, serta memberikan kemudahan dalam melaksanakan ibadah haji.
2.      Bidang sosial kemasyarakatan, pemerintah kolonial memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku dan membantu menggalakkan rakyat agar tetap berpegang pada adat tersebut yang telah dipilih agar sesuai dengan tujuan mendekatkan rakyat kepada budaya Eropa. Snouck menganjurkan membatasi meluasnya pengaruh ajaran Islam, terutama dalam hukum dan peraturan.
3.      Dalam bidang politik, bentuk-bentuk agitasi politik Islam yang akan membawa rakyat kepada fanatisme dan kebangkitan Islam harus ditumpas. Penumpasan itu jika perlukan dilakukan dengan kekerasan dan kekuatan senjata. Setelah diperoleh ketenangan, pemerintah kolonial harus menyediakan pendidikan, kesejahteraan dan perekonomian, agar kaum pribumi mempercayai maksud baik pemerintah kolonial dan akhirnya rela diperintah oleh “orang-orang kafir”.
Strategi Snouck kemudian didukung oleh pemerintah kolonial dengan menerapkan konsep devide et impera dengan memanfaatkan kelompok elit priyayi dan Islam abangan untuk meredam kekuatan Islam dan pengaruhnya di tengah masyarakat. Kelompok ini diberi kesempatan untuk menempuh jalur pendidikan Barat sebagai bagian dari “Politik Asosiasi”. Politik asosiasi sendiri adalah program yang dijalankan lewat jalur pendidikan bercorak barat dan pemanfaatan kebudayaan Eropa terhadap kaum pribumi agar mereka lebih terasosiasi dengan negeri dan budaya Eropa. Pribumi hasil didikan Barat ini yang kemudian dijadikan perpanjangan tangan pemerintah kolonial dalam mengemban dan mengembangkan amanat politik asosiasi. Secara berangsur-angsur pejabat Eropa dikurangi, digantikan oleh pribumi pangreh praja yang telah menjadi ahli waris budaya asosiasi hasil didikan sistem Barat. Akhirnya Indonesia diperintah oleh pribumi yang telah berasosiasi dengan kebudayaan Eropa.[7]

VII.           Pandangannya tentang Islam, al-Qur’an dan Hadist
Menurut Snouck, Islam adalah agama Muhammad dan secara terang-terangan menyatakan bahwa Islam dipandang sebagai faktor negatif, karena Islam sering menimbulkan semangat fanatisme agama di kalangan muslimin. Adapun pandangan Snouck terhadap hadis Nabi yang mengikuti riset dari Ignaz Goldziher yaitu kebenaran hadis sebagai ucapan Muhammad SAW tidak terbukti secara ilmiah. Hadis hanyalah rekayasa atau buatan umat Islam abad kedua hijriah. Dan pemikiran Ignaz Goldzhier mengenai hadis banyak yang menjadikan pijakan oleh para orientalis termasuk Snouck Hurgronje [8] dan al-Quran bukanlah wahyu, melainkan karangan Muhammad. Oleh karena itu, Hurgronje tidak mengakui kenabian Muhammad saw.[9]

VIII.        Kritikan Sarjana Muslim Terhadap Snouck
Menurut Dr. Raud rasyid. MA. Seandainya Hurgronje adalah peneliti objektif, ia tidak punya pilihan selain mengakui bahwa Islam adalah agama Allah, Al-Qur'an adalah wahyu, dan Muhammad saw. adalah penutup para nabi. Alasannya, prinsip-prinsip ini diterangkan dalam kitab-kitab samawi seperti Taurat dan Injil. Allah berfirman, yang artinya sebagai berikut. "(Yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, nabi yangummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalamTaurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka darimengerjakan yang mungkar."(Al-A'raf: 157).
Sifat-sifat Rasulullah bahkan telah diterangkan  dalamTaurat dan Injil, sama seperti yang tertuang dalam Al-Qur'an. Hal iniditegaskan kalangan ahli kitab yang telah memeluk Islam, seperti Ka'ab al-Ahbar dan Abdullah bin Salam. Di antara sifat-sifat tersebut dalam Taurat adalah sebagai berikut. "Wahai Nabi, sesungguhnya Kami mengutus Anda sebagai saksi, pembawa gembira, pemberi peringatan, dan penjaga bagi kaum yang buta huruf. Engkau adalah hamba sekaligus Rasul-Ku. Kunamai engkau Al-Mutawakkil, tidak keras dan kasar, tidak pula tinggi suara dan tercampur suaranya (serak) di  pasar, dan tidak membalas kejelekan dengan kejelekan, tapi memaafkan dan mengampuni."
Dr. Daud melanjutkan, seandainya objektif, Hurgronje akan mengakui kenabian Muhammad saw. seperti yang dilakukan oleh Buhaira saat mengetahui ciri-ciri Muhammad seperti yang dikabarkan oleh Nabi Musa a.s. dan Isa a.s.[10]

IX.              Kesimpulan
Dari apa yang telah dipaparkan di ata, jelaslah bahwa sosok orientalis seperti Snouck ini merupakan sosok yang berwarna. Bisa dikatakan berhasil (dalam pandangan orientalis lainnya), bisa juga dikatakan pahlawan (dalam pandangan Belanda), namun juga bisa dikatakan penghianat (dalam pandangan umat Islam – terutama rakyak Islam Aceh - ). Berbagai macam warna pandangan yang ditujukan kepada Snouck yang menjadikan kehadirannya memang sangat urgen atau bahkan masalah dari pihak lain. Dialah yang berhasil menjadi titik balik pemecah permasalahan yang dialami belanda ketika melawan umat Islam Aceh. Yang mampu memisahkan antara politik dan agama – yang menjadikan keterpisahan pusat kelemahan umat Islam Aceh -.
Mengenai Islam, al-Quran dan hadis, dia berpendapat bahwa Islam hanyalah agama Muhammad yang mampu menjadikan sikap fanatisme terhadap pemeluknya. Kemudian al-Quran dipandang sebagai ucapan Muhammad saja, bukan wahyu dari Allah SWT. Dan dia menilai – senada dengan Ignaz Goldzier – bahwa hadis hanyalah rekayasa semata. Tidak terbukti secara ilmiah bahwa itu adalah ucapan dari Muhammad. Maka dari itu dia tidak mengakui kenabian dari Muhammad SAW.

X.                 Daftar Pustaka
A. Abdul Hamid Ghurab, Menyinyingkap Tabir Orientalisme.hal. 135.
Dekonstruksi sunnah dari warisan kolonial. Html. 16 mei 2013.
http://arjaenim.blogspot.com/2013/04/tokoh-orientalisme-christian-snouck.html. Di unduh pada tanggal 19 Mei 2013.
http://buntexz.blogspot.com/2012/02/orientalisme-snouck-hurgronje.html di unduh pada tanggal 22 Mei 2013 pukul 23.33 WIB.
Kehidupan Snouck Hurgronje dan pemikiran Islam politik. Pdf.  16- 05- 2013.
Snouck hurgronje, Orientalisme. Html. 16 mei 2013.




[1] Di presentasikan pada hari Kamis, tanggal 23 Mei 2013 guna memenuhi tugas perkuliahan dalam mata kuliah Orientalisme al-Quran oleh Dosen Pengampu Ust. Sukendar.
[2] Mahasiswa Tafsir Hadis Fak. Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang,
[5] http://qienz.blogspot.com.snouck-hurgronje-dan-pemikirannya.html. 19- Mei- 2013.
[6] Kehidupan Snouck Hurgronje dan pemikiran Islam politik. Pdf.  16- 05- 2013.
[7] Snouck hurgronje, Orientalisme. Html. 16 mei 2013
[8] http://buntexz.blogspot.com/2012/02/orientalisme-snouck-hurgronje.html di download pada tanggal 22 Mei 2013 pukul 23.33 WIB.
[9] A. Abdul Hamid Ghurab, Menyinyingkap Tabir Orientalisme.hal. 135.
[10] Dekonstruksi sunnah dari warisan kolonial. Html. 16 mei 2013