Minggu, 02 Juni 2013

SETANGKAI BUNGA MELATI


Oleh, NisJasmine

Jepara, kotaku. Kota kecil nan indah, terletak tak jauh dari pantura timur Jawa Tengah. Kota yang membuatku mampu memahami makna pasang surutnya hidup. Kecintaan dan hasratku untuk mengekplorasi misteri kehidupan  telah menuntunku melakukan perjalanan yang membuatku menemukan berbagai petualangan yang indah.
Sebut saja aku, Asma. Si gadis murah senyum, julukan yang dinobatkan teman-temanku semenjak kelas dua SMA. Dua bulan lalu, usiaku genap 17 tahun. Aku besar ditengah-tengah keluarga dengan gaya hidup yang serba mewah, tetapi tetap menekankan ajaran islam sebagai cara hidup keluarga kami. Misalnya, Shalat berjama’ah selalu ditanamkan ayah kepada kami. Namun, sesekali aku merasakan kepenatan tiada terkira. Salman, saudara bungsuku yang usianya terpaut satu tahun denganku, lebih senang menghabiskan liburan semester ini bersama teman-temannya. Belum lagi Ayah, sibuk dengan bisnis meubelnya. Bunda, yang setiap hari nangkring didepan laptop dengan bisnis onlinenya.
“Bunda, jauh didalam lubuk hatiku sebenarnya aku menjerit menahan rasa  yang tak terperi, Bun.” Ujarku sambil merengek disamping bunda yang sibuk dengan laptopnya di teras depan.
“Kenapa sayang?” Tanya bunda sembari meneguk secangkir kopi sebagai penghangat tubuhnya.
“Biasa, bun. Galau anak muda, hehe.” Jawabku.
“Galau mikirin apa, sayang? Soal cinta? Mbok  ya fokus sekolah dulu. Perjalananmu masih panjang. Jangan habiskan waktumu untuk sekedar memikirkan hal-hal yang tidak bermanfaat. Yakin deh sama bunda, suatu hari nanti kamu akan mendapatkan seseorang yang benar-benar kamu inginkan.” Kata bunda, menasehatiku.
“Begitu ya, bun. Sekarang kan lagi musim liburan, boleh dong sedikit memikirkan hal itu. hehe” Jawabku sambil tersenyum.
Beberapa waktu berselang. Aku terdiam, ku palingkan  wajahku dari bunda. Kupandangi melati yang menjulurkan batangnya ke atap rumah. Seketika hanyut dalam lamunan, terbesit dalam hati. Aku memang terlihat tegar, bunda. Diusiaku yang menginjak remaja ini terkadang dalam kesendirian, aku menjadi sosok yang sangat rapuh. Aku sangat ingin mengenal apa itu cinta. Sudah lama aku mengagumi sosok yang aku sebut pangeran. Dan sosok  pangeran itu adalah Lana. bunda sebenarnya paham sosok Lana. Sering lewat depan rumah, sesekali memetik melati di teras depan. “Maafkan aku, bun.” Ujarku dalam hati
Mega merah nampak memudar dikaki langit barat, kumandang adzan isya’ mulai terdengar. “Bunda, mbak Asma. Cepat masuk ke dalam rumah, kita shalat berjama’ah. Ayah sudah menunggu.” Teriak Salman.
“Iya, bentar. Aku bantu bunda beresin laptop dulu.” Jawabku.
Tak lama, aku dan bunda masuk ke dalam rumah. Bergegas mengambil air wudhu dan shalat berjama’ah.
***
Aku duduk di ruang belajar, menatap buku-buku yang berjejer rapi diatas meja. Kerudung putih melingkar rapi menutupi gamis coklat yang nampak senada dengan Novelet “Dalam Mihrab Cinta” karya Habiburrahman El Shirazy. Senyumku mengembang, lalu aku ambillah karya Novelis Sarjana Al-Azhar University Cairo, penulis adikarya fenomenal Ayat Ayat Cinta itu. Dalam novel kutemukan sebuah kutipan:
Kebijakan yang sesungguhnya, biasanya tampak melalui kerendahan hati dan tidak banyak cakap.” (Napoleon Hill)
Ku tulis kalimat itu diselembar kertas, tinta merah menjadi saksi bisu. Aku tempelkan tepat di dinding dimana aku duduk di ruang belajar. Bagiku kutipan itu memiliki makna mendalam, bagaikan stimulus yang mampu membangkitkan semangatku ketika pagi menyapa.
***
 Matahari mulai menampakkan wajahnya. Suasana yang diselimuti mendung, takan mampu menghalangiku menjalankan aktivitas yang tak pernah ku lewatkan saat liburan tiba. Ku kenakan jersey merah panjang dan berbalut jilbab putih untuk menaklukkan arena jogging ku, segera aku langkahkan kakiku ke lapangan volli depan rumah. Satu putaran penuh telah kulalui. Terhenti dan berdiri di teras rumah sembari memandang melati yang  aku tanam dua tahun silam.
“Asma!!” Suara Mita membahana memecah keheningan, “Lagi apa?”
Aku menoleh dan tersenyum, “lihat melati”, jawabku pendek.
Mita melangkah mendekat. Ia menghela nafas panjang, kemudian mengikuti pandanganku.
“Kamu mikirin apa, sih?” ujar Mita.
“Nggak ada.” Jawabku singkat.
“Patah hati?” Tanyanya dengan tatapan tajam yang mampu merobek hatiku.
“Aku pikir aku sedang jatuh cinta.” Jawabku diplomatis.
“Jatuh cinta dan patah hati adalah dua hal yang berbeda namun punya rasa yang sama. Jatuh cinta, semanis apapun kata itu terlontar, yang namanya jatuh pasti menyakitkan” ucap Mita.
Suasana menjadi hening sejenak, aku masih mencoba menelanjangi setiap makna dari kata-kata yang Mita ucapkan. Bahkan sampai saat ini, aku masih belum tahu apakah aku telah patah hati atau aku seorang gadis yang tengah dimabuk cinta. Matanya, wajahnya, pesonanya masih singgah dimataku, namun semua itu tak ubahnya sebilah sembilu. Hanya mampu menyayat-nyayat hatiku. Wahai pangeran cintaku… salahkah aku yang tak pernah puas merindumu?
“Melati itu menyimpan sesuatu, kan?”  Mita kembali membuka dialog diantara kita. Cesssss… terasa gemerincing, bagai siraman air sewindu.
Aku tak menjawab, hingga Mita berkata lagi. “Wajah manis yang tersenyum.”
Aku menoleh. “Please, jangan ingatkan aku.”
“Tapi melati itu sama saja mengenang lana, kan? Apa bedanya, As? Semuanya sama. Pasti puisi itu, melati itu, dan tulisan-tulisanmu. Semua punya satu makna, hanya Lana seorang. Ya kan, As?” tanyanya membuka luka lamaku.
“Mit, dari dulu aku ingin sekali menjadi cewek yang tegar, yang tak peduli meskipun orang jahat padaku, tak menangis meski ditinggalkan orang yang ku cintai, tak peduli meski aku disakiti. Tapi, ketidakpedulianku pada Lana berbeda makna, Mit. Lana tetap menjadi orang yang aku sayangi sampai saat ini.” Ucapku terdengar sendu.
“Aku tahu dimana posisimu sekarang, As. Yang sabar ya?” Mita menenangkanku.
Ya, Mita adalah putri sulung budheku sekaligus teman sebangkuku. Dia gadis sederhana, tidak pernah berpenampilan yang neko-neko dan mencolok. Aku baru sadar, kalau dia saudara yang bisa aku percaya sampai saat ini. Bahkan aku mengakui, kedekatanku dengan Mita lebih dari kedekatanku dengan ayah dan bunda. Ayah dan bunda belum mengijinkan aku untuk mengenal about love kepada lawan jenis,  itu sebabnya aku sedikit tertutup kepada mereka.
***
“Wah, indahnya bunga itu?” tanyaku takjub, dan terus memandangi bunga berwarna putih.
Lana menggeleng. “Itu  bunga melati diseberang jendela kamarmu.”
“Owh, bunga putih diseberang jendela kamarku, yang tiap hari bisa kulihat dari teras rumah bahkan dari dalam kamar pun aku bisa memandangnya.
“Harum sekali.” Ujarku sambil menyentuh bunga itu. Lana hanya tersenyum.
“Lana… ini boleh buatku?” tanyaku.
Tapi Lana menggeleng. “Tidak boleh, ini bunga spesial. Bunga ini untuk cewek yang aku sayangi.” dia tersenyum.
Aku sedikit kesal. “Memangnya kamu nggak sayang sama aku?”
“Yeee… enggak.” Jawabnya ketus.
***
Aku terpaku dalam bayang-bayang maya, dan suasana dari satu mimpi, yang menyalib kedua tangan dan kakiku, diatas tiang rasa. Betapa tipis batas antara suka dan tak suka, cinta dan tak cinta. Aku dalam kekalutanku, melewati malam-malamku dengan menangis. Tangisku adalah pencampuran antara rasa sedih karena harus mengalami hal yang seperti ini. Mengagumi dalam diam, mungkin kalimat itu tepat diperuntukkan padaku. Aku tahu, semua tabu bagiku untuk mengakuinya.
Sejak itu aku tak lagi membiarkan diriku tenggelam dalam kesedihan. Aku banyak berdo’a, banyak shalat malam, dan lebih memasrahkan diri pada Allah. Karena memang menangis sungguh tak membawa hasil apa-apa. Apa yang telah terjadi sudah menjadi bagian dari hidup yang harus aku jalani. Allah lebih tahu apa yang terbaik bagiku. Jika ini yang terbaik, aku akan terima dengan lapang dada.
***
“Cakep nggak, As?” Tanya Mita dengan memperlihatkan foto dalam facebook ponselnya. “Dia anak IPA lho….” Ujarnya.
“Aku hanya menggangkat bahuku lalu meninggalkan Mita didepan rumahku.”
“As…” Mita memanggilku dan menggandeng lenganku, meminta kembali.
“Aku mau melihat Lana.” Jawabku sambil tersenyum masam. “Besok, jangan lihatkan aku foto cowok. Buat apa coba?”
“Supaya kamu nggak menunggu Lana terus… untuk apa menyentuh hidup seseorang jika hanya untuk menghancurkan hatinya” sahut Mita.
“Aku merasa nyaman menunggunya, Mit. Dan aku bahagia, aku sadar kalau yang aku tunggu adalah orang yang aku sayangi.”
Mita meninggalkanku didepan jendela dimana aku bisa menatap bunga melati itu. Entah dimana bunga yang telah ia petik kemarin. Tapi, kalau bunga putih itu telah diberikan kepada cewek lain, aku akan tetap bahagia. Mungkin menyakitkan jika aku melihat dia bahagia dengan orang lain, tapi kurasa akan lebih menyakitkan lagi jika aku tahu dia nggak pernah bahagia bersamaku.
***
“Kamu suka bunga melati ya, Lan?”
Lana menggeleng, “Suka harumnya saja.”
Aku mengangguk. Dan sejak pertama aku melihat bunga putih itu, aku jadi sangat menyukai bunga melati. Bunga diseberang jendela kamarku.
“Kamu nggak sekolah?” tanyanya.
“Masih libur.” Jawabku. Dan aku melihat Lana mengambil bunga melati disebrang jendela, “Mau diapakan?” tanyaku.
“Hanya ingin mencium harumnya.” Jawabnya dengan wajah yang tersenyum.
Tak lama kemudian Lana beranjak dari teras depan rumahku.
Aku terdiam. Lana sosok yang sederhana. Serta tidak berpenampilan yang membuat orang menjadi tergoda melihatnya, terutama kaum hawa. Lana juga cowok yang sangat biasa. Ia tidak cakep, tidak jelek, tidak sombong, tidak pendiam, tidak cerewet. Ia memiliki jiwa karismatik, itu yang aku suka. Lana terkadang membuatku terjebak dalam pertanyaan-pertanyaan tentang dirinya. Pertanyaan yang kubuat sendiri dan tak ku temukan jawaban. Dan sehari setelah pertemuan itu. Lana menghilang, Lana memang sering SMS dan menelponku. Tapi, aku sering teringat bunga itu. Aku menganggap ia sudah bahagia dengan cewek yang menerima bunga melati dari dirinya.
***
“As… Asma,” Mita memanggilku. Dia membuatku mengalihkan pandangan dari melati itu.
“Kamu ingat Lana, As?” tanyanya.
“Tidak.” Jawabku singkat, namun kontradiksi dengan hatiku. Dalam hati bertanya, jika benar demikian, lalu untuk apa aku memandangi bunga putih itu tiap hari.
“Ah, ada yang aneh dimatamu, sesuatu yang tak bisa aku tebak.” Gumamnya. Kemudian Mita meninggalkanku sendiri dalam penantian yang tak pasti.
Ku langkahkan kaki ini ke dalam kamar. Tertunduk di ruang belajar, terlintas kutipan novel itu. Sedikit tenang rasanya, mulai hilang kegundahanku. Kemudian ku rebahkan raga ini diatas kasur busa. Aku merasakan kenyamanan yang tiada terkira, seakan hilang semua penatku.
***
            Malam kembali menjadi selimut langit, sang dewi malam mengintip terang membentuk senyuman. Berjuta galaxi di sisinya tak kan pernah mampu manandingi kecantikan dan keanggunannya. Kecantikan yang melukiskan wajah seseorang yang begitu kurindukan. Andaikan Tuhan menciptakan dua rembulan, mungkin senyum yang mengembang diatas sana tak kan berganti-ganti menyesuaikan tanggal. Namun sayangnya Tuhan menciptakan satu bulan diantara ribuan bintang, meski terlihat terang namun jelas begitu kesepian. Andaikan juga aku dapat kembali kemasa-masa itu, masa dimana aku masih bisa melihat senyumnya, akan kupastikan untuk menggenggam erat tangannya dan tak kan pernah aku lepaskan. Sayangnya waktu seperti jarum jam, yang bergerak mengikuti sunatullah yang tak mungkin dapat diputar kembali. Dan inilah aku, masih berdiri kuat berkumpul bersama keluargaku.
“Sayang, maafkan bunda. Bunda mengerti apa yang kamu inginkan bersama harapan-harapan yang kamu rajut. About love, ayahmu setuju dengan pendapat bunda. Jika kamu mengagumi sosok pangeranmu, boleh saja. Asalkan tahu bagaimana seharusnya kamu bersikap. Untuk saat ini, ayah dan bunda memberikan kebebasan padamu, sayang. Ingat, jangan salah gunakan kepercayaan yang telah ayah dan bunda berikan. Dan harus tetap semangat belajarnya.” Ujar bunda dengan bola mata yang mulai berkaca-kaca.
Aku tertegun sejenak sebelum menanggapi pernyataan bunda. Tiba-tiba rasa gundah dihatiku sirna, seperti angin yang membawa wangi melati, ada rasa damai. “Ayah, bunda. Jangan khawatir. Asma akan berusaha menjaga kepercayaan ayah dan bunda berikan.”
“Mbak Asma, Alhamdulillah ya. Cetar membahana badai, subhanallah. Mbak Asma terlihat bahagia malam ini.” Sahut Salman, adik bungsuku.
“Hehe, anak kecil tau apa tentang pembicaraan ini.” Bisikku lirih.
“Yee, tidak apa-apa tho mbak.” Sahutnya.
“Sstt, anak kecil tutup telinga. Tidak boleh seperti itu.” Ujarku.
“Hemm,, nggeh mbak Asma yang paling cantik.”
“Sudah malam. Asma, Salman. Masuk ke kamar masing-masing, kita istirahat.” Ujar ayah menambah percakapan.
“Iya ayah.” Jawabku dan Salman.
***
Semenjak kepergian Lana satu tahun silam,  kabar terakhir yang aku terima ia menyelesaikan studinya di salah satu Universitas di Bandung. Dibalik rasa senangku atas pernyataan bunda, aku justru semakin dilanda kekalutan. Aktivitasku habiskan dengan sekolah, membaca novel-novel religi, dan membuat coret-coretan sekedar menyalurkan hobiku membaca. Mulai dari situlah, semangat hidupku bangkit lagi. Bahkan tak jarang aku bermunajat kepada Allah. Dalam do’a aku meminta kepada Allah agar menghilangkan rasa kegelisahan dan ketidaktenangan dalam diri jiwaku. Aku akan menunggunya, jangankan untuk menyelesaikan studinya, menunggunya seribu tahun pun aku sanggup. Cinta datang kepada orang yang masih mempunyai harapan.
***
Pagi ini cerah. Aku melihat sosok pria berdiri diseberang jendela kamar mencoba memetik bunga melati itu. Terdiam sejenak dan “Itu Lana…” teriakku dan berlari menuju seberang jendela kamarku, kemudian menghampirinya.
  “Itu melati, Lan?” tanyaku.
“Yups…”
“Kok Cuma setangkai?”
Lana menatapku, “Kamu pernah ditinggalkan orang yang paling kamu sayangi?”
“Ng…iya.” Aku hanya menjawab bingung. Terus menatap setangkai bunga melati yang dibawanya.
“Dan kamu merasa nggak ada yang bisa menggantikan orang itu, meski kamu tahu ada orang lain yang mencintaimu?”
“Hemm… kamu ngomong apa sih?”
“Terkadang kamu terlalu lama melihat cinta yang sudah meninggalkanmu, hingga kamu nggak bisa melihat cinta lain yang ada.”
Aku menggeleng. “Lalu apa hubungannya dengan setangkai bunga melati ini?”
Tiba-tiba, aku teringat sesuatu. Ya, Lana pernah mengatakan, “Bunga ini cuma buat orang yang aku sayangi.” Aku terpaksa tersenyum. “Aku tahu maksudmu.”
Kita tak kan pernah tahu kapan kita akan jatuh cinta, tapi jika itu terjadi raihlah dengan kedua tanganmu dan jangan biarkan dia pergi dengan sejuta tanda tanya dihatinya. Cinta dapat membuatmu bahagia sekaligus menderita tapi cinta baru berharga jika diberikan pada orang yang menghargainya. Cara terbaik untuk jatuh cinta adalah jatuh tapi jangan terhuyung, karena cinta itu menguatkan. Cinta itu seperti melati, suci nan tegar.

SELESAI

0 komentar:

Posting Komentar