Saat itu, sore menghamipiri desa pinggiran di ibu
kota, memandang lesu bersembunyi di balik awan. Sore yang sejatinya indah
baginya sudah tak indah lagi. Perpaduan keindahan antara langit dan matahari di
kala sore bukan menjadi sebuah keindahan lagi bagi firsa. Iya firsa, Gadis mungil
berumur 7 tahun yang baru naik tingkat kelas 2 SD di desanya.
Hari itu hari senin, tepat satu minggu
meninggalnya almarhum bapaknya, royan. Mungkin bagi semua orang itu
adalah cobaan terbesar bagi firsa, namun hal itu menjadi biasa saja baginya.
Tidak tahu kenapa firsa menjadi kaku setelah sepeninggal ayahnya.
Saat itu dia sedang duduk di sudut pojok kedai kopi milik
ayahnya. Kedai kopi milik ayahnya itu lumayan besar.
Bernuansa klasik dilengkapi dengan barang-barang yang dibuat khusus seperti
barang kuno. Kaca hitam dan putih lengkap menutup bagian-bagian pinggir dari
kedai kopi tersebut. Dalam
kesendiriannya, merenung dengan apa yang sedang dia lihat. Sekumpulan anak-anak
sedang asyik bergembira bermain bola.
“ah, kenapa aku tak bisa segembira mereka”.
Gumannya pada kaca putih tepat di depannya.
“ah, sedih-pun
tak bisa. Ingin ku menangis sekencang-kencangnya terhadap dunia ini, betapa
anehnya aku ini” sahutnya sambil meneriaki alam yang membuatnya merasa aneh.
Teriakannya-pun
tak henti. Menghujani keributan sendiri yang merusak kerapian dari kedai kopi
ayahnya itu yang ditinggalkannya satu minggu yang lalu.
Kursi ia lempar,
kaca ia pecahan, bahkan hiasan-hiasan yang memperklasik kedai tersebut dia
hancurkan.
Tak tanggung
lagi, kejadian itu memanggil kegaduhan warga sekitar kedai kopi tersebut. Berbondong
mereka datang melihat kejadia. Mempertanyakan pertanyaan besar “ada apa ini?
Apakah anak itu sudah gila?”
Tiada yang
menghentikan, hanya diam dan melihat, seperti tontonan dalam bioskop bioskop
yang hanya diam berekspresi dan melihat.
Kegaduahan,
kerusakan yang firsa buat terus dia lakukan, marah karena tidak mengerti ada
apa gerangan dengan dirinya. Dan ketika dia berada di loker kecil di samping
almari gelas yang telah ia pecahkan itu, dia melihat satu lembar gambar yang
mampu mendiaman suana kala itu. Iya, gambar senyum manis dia bersama ayahnya. Gambar
kecil meluluhkan kebingungan yang firsa rasakan. Dia diam, duduk termengu. Diam
diam dan diam.
Kebisingan-pun
mulai kembali, kali ini bukan karena teriakan-teriakan dari firsa seperti
sebelumnya, melainkan tangisan-tangisan kencang yang ia lakukan. Menangis
karena baru kali ini dia merasakan betapa dia kehilangan ayahnya. Kali ini,
warga pun mendatanginya bukan lagi menontonnya.
Bahu membahu
menolong firsa, mencoba untuk menghentian tangisannya. Namun tiada yang
berhasil....
Sungguh malang
niang nasib firsa, yang kaku dan bingung harus bagaimana,,, dan hanya dengan selembae
foto merubah segalanya bagi firsa, iya, foto senyum manis bersama ayahnya,,,
20 Maret 2014
0 komentar:
Posting Komentar