Minggu, 15 Juni 2014

Tangisan Anak Kopi



Saat itu, sore menghamipiri desa pinggiran di ibu kota, memandang lesu bersembunyi di balik awan. Sore yang sejatinya indah baginya sudah tak indah lagi. Perpaduan keindahan antara langit dan matahari di kala sore bukan menjadi sebuah keindahan lagi bagi firsa. Iya firsa, Gadis mungil berumur 7 tahun yang baru naik tingkat kelas 2 SD di desanya. 

Hari itu hari senin, tepat satu minggu meninggalnya almarhum bapaknya, royan. Mungkin bagi semua orang itu adalah cobaan terbesar bagi firsa, namun hal itu menjadi biasa saja baginya. Tidak tahu kenapa firsa menjadi kaku setelah sepeninggal ayahnya.

Saat itu dia sedang duduk di sudut pojok kedai kopi milik ayahnya. Kedai kopi milik ayahnya itu lumayan besar. Bernuansa klasik dilengkapi dengan barang-barang yang dibuat khusus seperti barang kuno. Kaca hitam dan putih lengkap menutup bagian-bagian pinggir dari kedai kopi tersebut.  Dalam kesendiriannya, merenung dengan apa yang sedang dia lihat. Sekumpulan anak-anak sedang asyik bergembira bermain bola. 

“ah, kenapa aku tak bisa segembira mereka”. Gumannya pada kaca putih tepat di depannya. 

“ah, sedih-pun tak bisa. Ingin ku menangis sekencang-kencangnya terhadap dunia ini, betapa anehnya aku ini” sahutnya sambil meneriaki alam yang membuatnya merasa aneh.

Teriakannya-pun tak henti. Menghujani keributan sendiri yang merusak kerapian dari kedai kopi ayahnya itu yang ditinggalkannya satu minggu yang lalu.

Kursi ia lempar, kaca ia pecahan, bahkan hiasan-hiasan yang memperklasik kedai tersebut dia hancurkan. 

Tak tanggung lagi, kejadian itu memanggil kegaduhan warga sekitar kedai kopi tersebut. Berbondong mereka datang melihat kejadia. Mempertanyakan pertanyaan besar “ada apa ini? Apakah anak itu sudah gila?”

Tiada yang menghentikan, hanya diam dan melihat, seperti tontonan dalam bioskop bioskop yang hanya diam berekspresi dan melihat.

Kegaduahan, kerusakan yang firsa buat terus dia lakukan, marah karena tidak mengerti ada apa gerangan dengan dirinya. Dan ketika dia berada di loker kecil di samping almari gelas yang telah ia pecahkan itu, dia melihat satu lembar gambar yang mampu mendiaman suana kala itu. Iya, gambar senyum manis dia bersama ayahnya. Gambar kecil meluluhkan kebingungan yang firsa rasakan. Dia diam, duduk termengu. Diam diam dan diam.

Kebisingan-pun mulai kembali, kali ini bukan karena teriakan-teriakan dari firsa seperti sebelumnya, melainkan tangisan-tangisan kencang yang ia lakukan. Menangis karena baru kali ini dia merasakan betapa dia kehilangan ayahnya. Kali ini, warga pun mendatanginya bukan lagi menontonnya.

Bahu membahu menolong firsa, mencoba untuk menghentian tangisannya. Namun tiada yang berhasil....

Sungguh malang niang nasib firsa, yang kaku dan bingung harus bagaimana,,, dan hanya dengan selembae foto merubah segalanya bagi firsa, iya, foto senyum manis bersama ayahnya,,,

20 Maret 2014

0 komentar:

Posting Komentar