Jumat, 24 Mei 2013

Pemikiran Politik al-Maududi


Al-Maududi

Abu ‘Ala al-Maududi lahir di Aurangabad, India Selatan pada tanggal 25 September 1903.[1][2] Pada masa itu pemikiran-pemikiran barat sangat mempengaruhi kehidupan di India, baik dalam bidang sosial, politik, ekonomi, maupun dalam bidang kebudayaan. Pengaruh barat tidak hanya berkisar pada pemikiran dan pengetahuan, tetapi juga diiringi dengan penjajahan dan perkembangan agama Nasrani yang dibawa oleh para misionaris. Perkembangan pemikiran barat ini berbanding terbalik dengan perkembangan pemikiran muslimin yang terus menurun hingga jatuhnya khilafah Utsmaniyah di Turki pada tahun 1923.
Keluarga al-Maududi merupakan lingkungan keluarga agamis, kelahirannya berhubungan dekat dengan Ahmad Khan, pendiri  جامعة عليكرهdi India. Oleh karena itu, al-Maududi meneruskan pendidikannya di perguruan tersebut dan mempelajari bahasa Inggris serta kebudayaan-kebudayaan Barat, Pendidikan yang dipilihnya ini mendapat penolakan keras dari keluarganya. Sebelum menyelesaikan pendidikannya, al-Maududi kemudian pindah ke جامعة آله أباد atas saran Ibnu Syaikh Kabiir.
Abu ‘Ala al-Maududi memulai karir politiknya pada tahun 1919 ketika Ia terjun bekerja pada partai Kongres di Jubalpur, kemudian Ia menjadi seorang editor surat kabar “Muslim” pada tahun 1924. Tahun 1926, berkat dukungan dan dorongan dari Jami’at Ulama Hindi al-Maududi berhasil menerima sertifikat pendidikan agama dan menjadi seorang ulama. Ia memulai dakwahnya pada tahun 1933 dengan menerbitkan majalah Turjuman Al-Qur’an, dan pada puncaknya al-Maududi mendirikan partai Jama’ah Islamiyah pada tahun 1941. Ia kemudian wafat pada tanggal 22 September 1979.
Beberapa buku karangan al-Maududi antara lain Tafhiimul Qur’an, Mabaadi’ul Islam, Nahnu wa Hadharah al-Gharbiyah, al-Jihad fil Islam, al-Musthalahaat al-‘Arba’ah fil Qur’an, Tajdiidud Diin wa Ihyaa’ihi, Makaanatus Sunnah fi at-Tasyri’, al-Hijab, Ad-Daulah al-Islamiyah, al-Khilafah wal Mulk, dan lain sebagainya.

Pemikiran Politik

Pemikiran politik Al Maududi tentang negara adalah akomodasi dari dua konsep yaitu demokrasi dan teokrasi yang menghasilkan konsep baru yaitu Teodemokrasi. Meskipun teodemokrasi merupakan perpaduan antara teokrasi dan demokrasi, tetapi Maududi dengan tegas menolak konsep demokrasi barat dan teokrasi eropa. Beliau menolak secara tegas dengan alasan bahwa kedaulatan yang sesungguhnya ada di tangan Tuhan, bukan di tangan rakyat (inti konsep demokrasi). Sedangkan penolakan terhadap teokrasi, bahwa jika di eropa pemimpin/raja merupakan perwakilan Tuhan. Maka lain halnya dengan konsep teokrasi islam, dimana khalifah merupakan wakil dari ummat bukan wakil tuhan.  Oleh karenanya dapat disimpulkan bahwa Teodemokrasi merupakan konsep politik dimana kedaulatan Tuhan diwakili oleh rakyat atau umat, namun dibatasi oleh norma-norma yang datang dari Tuhan.
Dalam sistem politik dunia islam, masyarakat terbagi atas dua golongan berdasarkan ideologi agama yaitu masyarakat / warga negara islam dan masyarakat / warga negara bukan islam atau biasa disebut Dzimmi. Yang membedakan antara kedua kelompok masyarakat tersebut ialah terletak pada hak dan kewajibannya. Jika masyarakat islam berhak untuk mendapatkan kebebasan untuk berpartisipasi dalam politik, dalam hal ini ikut merumuskan dan memutuskan kebijaksanaan politik dengan cara masuk ke dalam sistem pemerintahan (baik daerah maupun pusat). Lain halnya dengan masyarakat bukan islam, mereka hanya berhak untuk duduk sampai di badan legislatif tingkat lokal. Mereka tidak berhak untuk ikut menjadi anggoat Majelis Syura di tingkat pusat dan menduduki jabatan-jabatan penting, apalagi maju sebagai presiden. Dalam hal kewajiban mereka juga memiliki perbedaan, meskipun tidak terlalu signifikan. Masyarakat islam wajib ikut dalam hal pembelaan negara. Sedangkan masyarakat bukan islan tidak wajib melakukannya.
Kekuasaan menurut Maududi terdiri atas tiga lembaga yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif. Lembaga Legislatif bertugas untuk menjadi penengah atau pemberi fatwa, dalam istilah trias politika adalah lembaga pembuat undang-undang. Sedangkat lembaga eksekutif bertugas untuk menegakkan pedoman-pedoman hukum Allah, dalam konsep trias politika merupakan pelaksana undang-undang. Dan yang terakhir ialah lembaga yudikatif yang bertugas untuk memberikan pengadilan berdasarkan hukum Ilahi, dalam istilah trias politika merupakan lembaga penegak hukum. Meskipun pada dasarnya sama dengan konsep trias politika milik John Locke tersebut, Maududi tidak pernah mau mengakui konsep trias politika tersebut sebagai bagian dari sistem politik islam. Alasan beliau ialah bahwa trias politika merupakan bagian dari konsep demokrasi barat.
Kesimpulan terakhir yang dapat dilihat berdasarkan pembahasan diatas adalah bahwa telah terjadi penyimpangan atas pemikiran politik Al Maududi dalam praktiknya. Misalnya, meskipun Maududi tidak pernah menyetujui konsep negara nasionalis. Akan tetapi beliau tetap mendukung Negara Pakistan yang menganut sistem nasionalis. Selain itu, pemikiran beliau tentang syarat pencalonan seorang khalifah, bahwa wanita muslim tidak boleh duduk di dalam Majelis Syura dan jabatan penting lainnya. Akan tetapi beliau pernah mendukung bahkan ikut berkampanye ketika Fatimah Jinnah maju sebagai calon presiden Pakistan pada tahun 1964.




0 komentar:

Posting Komentar