Al-Maududi
Abu ‘Ala
al-Maududi lahir di Aurangabad, India Selatan pada tanggal 25 September 1903.[1][2] Pada masa
itu pemikiran-pemikiran barat sangat mempengaruhi kehidupan di India, baik
dalam bidang sosial, politik, ekonomi, maupun dalam bidang kebudayaan. Pengaruh
barat tidak hanya berkisar pada pemikiran dan pengetahuan, tetapi juga diiringi
dengan penjajahan dan perkembangan agama Nasrani yang dibawa oleh para
misionaris. Perkembangan pemikiran barat ini berbanding terbalik dengan
perkembangan pemikiran muslimin yang terus menurun hingga jatuhnya khilafah
Utsmaniyah di Turki pada tahun 1923.
Keluarga al-Maududi merupakan lingkungan keluarga agamis, kelahirannya
berhubungan dekat dengan Ahmad Khan, pendiri جامعة عليكرهdi India. Oleh karena itu, al-Maududi meneruskan pendidikannya di perguruan
tersebut dan mempelajari bahasa Inggris serta kebudayaan-kebudayaan Barat,
Pendidikan yang dipilihnya ini mendapat penolakan keras dari keluarganya.
Sebelum menyelesaikan pendidikannya, al-Maududi kemudian pindah ke جامعة آله أباد atas saran
Ibnu Syaikh Kabiir.
Abu ‘Ala
al-Maududi memulai karir politiknya pada tahun 1919 ketika Ia terjun bekerja
pada partai Kongres di Jubalpur, kemudian Ia menjadi seorang editor surat kabar
“Muslim” pada tahun 1924. Tahun 1926, berkat dukungan dan dorongan dari Jami’at
Ulama Hindi al-Maududi berhasil menerima sertifikat pendidikan agama dan
menjadi seorang ulama. Ia memulai dakwahnya pada tahun 1933 dengan menerbitkan
majalah Turjuman Al-Qur’an, dan pada puncaknya al-Maududi mendirikan
partai Jama’ah Islamiyah pada tahun 1941. Ia kemudian wafat pada tanggal 22
September 1979.
Beberapa buku
karangan al-Maududi antara lain Tafhiimul Qur’an, Mabaadi’ul Islam, Nahnu wa
Hadharah al-Gharbiyah, al-Jihad fil Islam, al-Musthalahaat al-‘Arba’ah fil
Qur’an, Tajdiidud Diin wa Ihyaa’ihi, Makaanatus Sunnah fi at-Tasyri’, al-Hijab,
Ad-Daulah al-Islamiyah, al-Khilafah wal Mulk, dan lain sebagainya.
Pemikiran Politik
Pemikiran politik Al Maududi
tentang negara adalah akomodasi dari dua konsep yaitu demokrasi dan teokrasi
yang menghasilkan konsep baru yaitu Teodemokrasi. Meskipun teodemokrasi
merupakan perpaduan antara teokrasi dan demokrasi, tetapi Maududi dengan tegas
menolak konsep demokrasi barat dan teokrasi eropa. Beliau menolak secara tegas
dengan alasan bahwa kedaulatan yang sesungguhnya ada di tangan Tuhan, bukan di
tangan rakyat (inti konsep demokrasi). Sedangkan penolakan terhadap teokrasi,
bahwa jika di eropa pemimpin/raja merupakan perwakilan Tuhan. Maka lain halnya
dengan konsep teokrasi islam, dimana khalifah merupakan wakil dari ummat bukan
wakil tuhan. Oleh karenanya dapat disimpulkan bahwa Teodemokrasi
merupakan konsep politik dimana kedaulatan Tuhan diwakili oleh rakyat atau
umat, namun dibatasi oleh norma-norma yang datang dari Tuhan.
Dalam sistem politik dunia islam,
masyarakat terbagi atas dua golongan berdasarkan ideologi agama yaitu
masyarakat / warga negara islam dan masyarakat / warga negara bukan islam atau
biasa disebut Dzimmi. Yang membedakan antara kedua kelompok masyarakat
tersebut ialah terletak pada hak dan kewajibannya. Jika masyarakat islam berhak
untuk mendapatkan kebebasan untuk berpartisipasi dalam politik, dalam hal ini
ikut merumuskan dan memutuskan kebijaksanaan politik dengan cara masuk ke dalam
sistem pemerintahan (baik daerah maupun pusat). Lain halnya dengan masyarakat
bukan islam, mereka hanya berhak untuk duduk sampai di badan legislatif tingkat
lokal. Mereka tidak berhak untuk ikut menjadi anggoat Majelis Syura di tingkat
pusat dan menduduki jabatan-jabatan penting, apalagi maju sebagai presiden.
Dalam hal kewajiban mereka juga memiliki perbedaan, meskipun tidak terlalu
signifikan. Masyarakat islam wajib ikut dalam hal pembelaan negara. Sedangkan
masyarakat bukan islan tidak wajib melakukannya.
Kekuasaan menurut Maududi terdiri
atas tiga lembaga yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif. Lembaga Legislatif
bertugas untuk menjadi penengah atau pemberi fatwa, dalam istilah trias
politika adalah lembaga pembuat undang-undang. Sedangkat lembaga eksekutif
bertugas untuk menegakkan pedoman-pedoman hukum Allah, dalam konsep trias
politika merupakan pelaksana undang-undang. Dan yang terakhir ialah lembaga
yudikatif yang bertugas untuk memberikan pengadilan berdasarkan hukum Ilahi,
dalam istilah trias politika merupakan lembaga penegak hukum. Meskipun pada
dasarnya sama dengan konsep trias politika milik John Locke tersebut, Maududi
tidak pernah mau mengakui konsep trias politika tersebut sebagai bagian dari
sistem politik islam. Alasan beliau ialah bahwa trias politika merupakan
bagian dari konsep demokrasi barat.
Kesimpulan terakhir yang dapat
dilihat berdasarkan pembahasan diatas adalah bahwa telah terjadi penyimpangan
atas pemikiran politik Al Maududi dalam praktiknya. Misalnya, meskipun Maududi
tidak pernah menyetujui konsep negara nasionalis. Akan tetapi beliau tetap
mendukung Negara Pakistan yang menganut sistem nasionalis. Selain itu,
pemikiran beliau tentang syarat pencalonan seorang khalifah, bahwa wanita
muslim tidak boleh duduk di dalam Majelis Syura dan jabatan penting lainnya.
Akan tetapi beliau pernah mendukung bahkan ikut berkampanye ketika Fatimah
Jinnah maju sebagai calon presiden Pakistan pada tahun 1964.
0 komentar:
Posting Komentar